Senin, 23 Desember 2024

Tidak Sesuai Harapan

Hidup selalu memiliki kejutan di setiap perjalanannya. Yang kali ini tidak sesuai harapan.

Petualangan kembali membawaku bersama Habibie, Daffa, dan Nabil melakukan pendakian. Saat ini Nabil adalah pemula, yang sebenarnya kemampuannya sangat aku khawatirkan. Tapi biarlah, selalu percaya rekan pendakian penting untuk menjaga suasana pikiran tetap kondusif. Sebelum lebih jauh, pendakian kali ini menuju ke Gunung Gede, gunung yang sangat menjadi andalan kawan-kawan di Jabodetabek sebagai tempat healing yang dekat-dekat saja. Namun supaya pendakian berbeda, aku memutuskan tidak lewat jalur Cibodas ataupun Gunung Putri, pendakian dilakukan melalui jalur Selabintana, jalur terpanjang dan tersulit untuk menggapai Puncak Gunung Gede.

Beli sayur di Sukabumi

Pendakian dimulai dari rumah untuk bertemu dan menuju basecamp dengan mengendarai motor, untuk menghemat biaya dan karena memang yang tersedia adalah kendaraan roda dua. Setelah melakukan persiapan administrasi, pengecekan perlengkapan, mengemas barang, dan tidur singkat, perjalanan dimulai menuju basecamp Selabintana yang sekaligus kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Perjalanan dimulai sekitar pukul 03.00 WIB, dengan 2 motor dan carrier penuh, kami siap melintas jalur Bogor-Sukabumi. 2,5 jam berkendara sampai kami sampai di Sukabumi kota dan memutuskan untuk istirahat sejenak sembari menunaikan shalat shubuh, sekaligus berbelanja sedikit kebutuhan makanan untuk di jalur pendakian. Sayur adalah makanan wajib, membeli sawi putih, jagung manis, nugget, dan bumbu dapur, sepertinya akan jadi menu yang lezat di atas nanti.

Jam 6 perjalanan di lanjut, di jalan kembali bungkus nasi dan lauk untuk makan siang serta sarapan terlebih dahulu. Supaya kegiatan masak-masak baru dilaksanakan di malam hari. Karena perjalanan yang memang santai, kami sampai basecamp Selabintana jam 8 tepat. Sampai basecamp langsung mengurus administrasi, checklist perlengkapan, dan mengikuti arahan dari pihak basecamp. Administrasi untuk mendaki Gunung Gede Pangrango sudah rapih dan dapat diurus online, jika seluruh berkas lengkap, proses administrasi tidak akan memakan waktu yang lama. Hanya informasi, di basecamp Selabintana sudah tidak ada sinyal provider apapun, untuk akses internet ada fasilitas wifi yang dapat diakses secara gratis, tanya saja kepada petugas untuk kata sandinya.

Sesaat sebelum mendaki

Setelah semua urusan selesai, jam 09.30 kami mulai melangkah, trek dimulai dengan jalur batu bersusun dan menyusuri sungai, maklum jalur awal masih menjadi satu dengan jalur ke Curug Cibereum, jadi dibuat senyaman dan seaman mungkin karena memang jalur wisata. Di 20 menit pertama, belum terasa bahwa Selabintana adalah jalur tersulit untuk mencapai Puncak Gede. Setelah bertemu pertigaan, ambil jalur ke kiri, kemudian kontur jalur berubah, trek tanah dan sepertinya ini jalur pendakian sebenarnya. 15 menit berjalan kami sampai di pos Citingar, ini bukan pos yang luas, hanya ada sedikit dudukan dan plang yang dikaitkan di pohon, kami berisitirahat sejenak disini sebelum melanjutkan perjalanan.

Pertigaan Cibereum dan Jalur Pendakian

Perjalanan selanjutnya merupakan perjalanan pos terpanjang, menuju Cigeber menurut info yang dihimpun, butuh waktu 2,5 jam berjalan. Disinilah tragedi terjadi, di tengah perjalanan menuju Citingar kami sekelompok diserang lebah. Hipotesisnya adalah entah ada sarang lebah yang diserang kawanan hewan lain atau ada pohon tumbang sehingga sarang lebahnya juga hancur, dan ini juga pertama kalina buat kami tersengat lebah, rasanya perih juga. Setelah terkena sengatan lebah, kondisi semakin kacau balau, kami tidak bisa memaksa untuk bergerak. Sebagai tindakan pertolongan pertama, kami disarankan untuk memakan bawang putih secara mentah dan mengoleskan ke bagian yang terkena sengatan. Sebenarnya rasa sengatannya masih terasa, cuma mungkin akan menjadi lebih parah jika tidak dilakukan pertolongan pertama tadi.

Sesaat setelah tersengat kawanan Lebah

Setelah adzan dzuhur berkumandang, kami mencoba melanjutkan perjalanan. Sebenarnya aku sudah baik-baik saja, rasa nyeri yang ada masih bisa ditahan dan tidak terlalu masalah, toh cuma terkena 2 sengatan masing-masing di betis kanan dan kiri. Tapi yang lainnya yang parah, mereka terkena sengatan hampir di sekujur tubuh, bahkan kepala. Dampak sengatannya pun tidak main-main, selama perjalanan Daffa, Habibie, dan Nabil menjadi tidak optimal dan prima. Lebih mudah lelah, badan panas, dan mual, perjalanan otomatis menjadi melambat, ditambah hujan sempat mengguyur di tengah perjalanan. Selambat-lambatnya berjalan, akhirnya jam 13.08 kami sampai di Cigeber. Karena sudah waktu makan siang walaupun terlewat, dan lahan yang cukup luas, aku memutuskan tim istirahat sejenak untuk mengisi perut, barangkali tenaga mereka kembali dan dapat mengalahkan efek nyeri yang dirasakan akibat sengatan lebah tadi.

Pos Cigeber

Setelah dirasa cukup istirahat, kemudian perjalanan dilanjut, karena memang menuju Citingar masih lumayan jauh. Ditambah trek yang masih sulit saja. Di tengah perjalanan juga sempat mengisi perbekalan air supaya stok air lebih aman, karena di tengah hutan, air menjadi lebih penting dari biasanya. Setelah perjalanan panjang, akhirnya kami sampai juga di pos Citingar sekitar pukul 16.30. Sebenarnya ini bukan tujuan kammi sebagai tempat mendirikan tenda, namun karena kondisi fisik semakin menurun dan untuk melanjutkan ke pos selanjutnya masih jauh, aku memutuskan pendakian hari ini berhenti disini. Walaupun sebenarnya Citingar bukan pos yang ideal untuk camp, karena lahan yang sempit dan terbatas.

Suasana Pos Citingar

Segera mendirikan tenda dan memasak untuk makan malam, tentunya sembari berbincang. Dari perbincangan dengan teman-teman sepertinya kondisi mereka belum juga membaik. Aku sudah berkali-kali mengatakan jika badan tidak mendukung jangan terlalu memaksakan, karena perjalanan untuk ke puncak masih cukup jauh, sekitar 4 jam lagi dari sini. Di malam itu juga Habibie mendeklarasikan sepertinya tidak akan muncak dengan pertimbangan badan yang semakin memburuk, sedangkan Daffa memutuskan melihat perkembangan nanti malam. Jika dirasa badang membaik, kita bisa berangkat. Ya walaupun malam itu Daffa juga masih pusing dan mual yang disebabkan sengatan lebah tadi siang. Setelah makanan habis kami semua tidur, dan aku bilang nanti malam tetap bangun jam 2 pagi untuk persiapan summit jika memungkinkan, jika tidak, toh tidur di Citingar juga sangat nyaman. Mendaki tidak selalu tentang puncak bukan?

Korban utama lebah

Sebenarnya tulisan ini belum selesai, tapi jika diceritakan secara detail, sudah lupa kejadiannya, hehe maklum, susah sekali menemukan mood untuk menulis belakangan ini. Singkatnya, sekitar jam 3 kami bangun, melihat perkembangan badan rekan-rekan sepertinya tidak memungkinkan untuk memaksakan ke puncak. Akhirnya kami lanjut tidur dan pagi hari sarapan, setelah sarapan sekitar jam 10 an kami mulai turun gunung. Sampai basecamp sekitar jam 2 siang, lalu kami berkemas kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan motor yang masih 5 jam lagi.

Menu makan pagi
Perjalanan mendaki itu memang seperti kehidupan, kadang naik, kadang turun, menemui semak belukar, harus merangkak di celah ranting, bertemu dengan berbagai macam makhluk hidup, sampai puncak, dan terkadang tidak sesuai harapan. Tapi penting untuk kuat dan terus bertahan, sampai kembali diminta pulang oleh-Nya.

Sebelum turun gunung

Senin, 22 April 2024

Titik Nol

Satu hal yang pasti dalam hidup ini adalah hidup pasti akan berputar layaknya roda. Bagian yang menyakitkan adalah, kita tidak pernah tahu pasti kapan titik nol mampir di hidup kita.

Kesempatan kali ini membawaku ke kota dimana aku memulai pendakian pertama ku, Garut. Tepat 9 tahun lalu aku datang di kota ini untuk memulai semuanya di Gunung Papandayan, Februari 2024 aku kembali untuk mendaki Gunung Cikuray, salah satu gunung yang juga cukup populer di Garut. Seperti hari-hari pendakian pada umumnya, aku hanya berangkat dengan rombongan kecil, 4 orang, Aku, Tiara, Habibie, dan rekan baru yaitu Daffa. Perjalanan dimulai pada tanggal 8 Februari jam 03.30 WIB di pool bus Primajasa Ciputat. Kami ambil bus paling pagi supaya dapat langsung mendaki di hari yang sama. Perjalanan ke Garut membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam menggunakan bus, dan kami sampai di Terminal Guntur Garut sekitar jam 9 pagi.

Sampai di Garut langsung belanja ke pasar dan bungkus nasi dahulu sebagai bekal pendakian di siang hari (rencananya).  Setelah urusan perbekalan selesai, kami mencarter angkot dengan tarif Rp 170.000 dari terminal sampai basecamp Kiara Janggot. Sampai basecamp jam 10, lalu sarapan nasi goreng dahulu di basecamp, urus simaksi, dan final check untuk perlengkapan yang akan dibawa ke atas. Pendakian via Kiara Janggot akan melewati 8 pos, dan sesuai rencana, kami akan camp di Pos 6 dengan estimasi jam 4 sore sampai.

Kita di basecamp.
Pendakian dimulai sekitar jam 11 siang, trek pertama menuju pos 1, dan sepanjang perjalanan masih dikelilingi pemukiman dan perkebunan warga. Pos 1 ditandai dengan sebuah plang, dan jika sudah sampai pos 1, berarti sudah ada di batas antara hutan dan pemukiman. Kami sampai di pos 1 sekitar jam 1 siang, memang, perjalanan menuju pos 1 adalah yang terpanjang, pos-pos setelahnya hanya butuh waktu 30-45 menit.  Ambil nafas dan minum sebentar di pos 1, kemudian melanjutkan perjalanan.

Lalat sepanjang perjalanan menuju pos 2
Perjalanan menuju pos 2 langit mulai berubah gelap, pertanda hujan akan datang. Saat itu hanya harap-harap cemas, jangan hujan dulu, pos 6 masih jauh, batinku. Setelah 35 menit berjalan, kami sampai di pos 2. Benar saja, yang sedari tadi dicemaskan datang juga. Hujan turun tepat setelah kami sampai di pos 2, sangat deras. Pos 2 juga menjadi tempat sumber air terakhir sehingga kami mengisi penuh perbekalan air disini. Lokasi sumber air tidak di pinggir jalur, perlu melipir sedikit 50 meter ke kanan jalur dan terdapat pipa yang menyalurkan air dari atas gunung. Jalur sumber air cukup jelas dan terlihat, hanya tinggal ikut jalan saja sumber air dapat ditemukan.

Setelah perbekalan air siap dan berganti ke setelan pendakian hujan, kami melanjutkan perjalanan menuju pos 3. Dari sini kontur pendakian berubah, yang sebelumnya dari basecamp sampai pos 2 cenderung landai, menuju pos 3 kontur berubah lebih terjal, ditambah cuaca hujan, lengkap sudah. Perjalanan ke pos 3 sempat terhambat sebentar karena di tengah jalan kakiku kram, entah mengapa belakangan ini setiap mendaki kram kaki selalu terjadi, padahal rasanya pemanasan sudah cukup maksimal. Ketika sampai di pos 3, kami tidak beristirahat, dan langsung tancap gas menuju pos 4, mengingat hari sudah semakin sore, dan rencana kami bermalam di pos 6, juga sudah cukup istirahat ketika insiden kram kaki terjadi.

Matahari semakin turun ketika kami sampai di pos 4, seingatku saat itu sudah jam 4 sore. Hanya istirahat sebentar di pos 4 untuk melonggarkan otot, selain karena cuaca masih hujan, di pos 4 juga tidak ada siapa-siapa, pertanda yang buruk jika harus sampai pos 6 terlalu lama dan bermalam tanpa ada rombongan lain. Semakin berjalan, kepercayaan diri semakin turun untuk bermalam di pos 6. Fisik semakin lelah karena sudah berangkat dari pagi buta, ditambah cuaca masih hujan, dan yang terparah, bekal makan siang yang kami bungkus di terminal Garut belum kami makan, yang artinya saat itu perut kami sudah mulai keroncongan. Akhirnya, keputusan bulat kami bermalam di pos 5 saja, entah ada rombongan lain atau tidak, kami berhenti. Risiko bermalam sendirian lebih kecil dibanding kami harus melanjutkan perjalanan ke pos 6 dengan kondisi fisik yang sudah tidak prima, dan hari yang semakin gelap.

Namun sepertinya alam mendukung kami, setelah berjalan 30 menit dari pos 4, kami mulai mendengar suara ramai dan aroma kopi yang sedang diseduh, yang kami harap saat itu kami sudah hampir sampai di pos 5. Dan benar saja, di pos 5 terdapat satu rombongan dengan 5 tenda, yang artinya kami tidak akan bermalam sendirian di pos 5. Sampai di pos 5 kami langsung membagi tugas, pasang tenda, memanaskan sayur,  jemur pakaian, dan tata tenda untuk tidur. Setelah makan, kami sepakat untuk istirahat saja dan tidak perlu makan malam kembali, dan makan lagi nanti sebelum summit attack, jam 2 dini hari.

Suasana di tenda

Esok harinya, kami bangun untuk persiapan summit. Karena rencana camp di pos 6 tidak terealisasi, maka kami harus bangun lebih awal supaya sampai di puncak saat sunrise. Setelah memasak nasi, mie instan, dan goreng bakso, kami melakukan packing untuk persiapan summit. Estimasi perjalanan adalah 3 jam, dan saat ini pukul 03.30. Perjalanan dimulai, trek masih sama saja seperti sebelumnya, akar, tanah, sesekali basah karena bekas hujan kemarin. Perjalanan malam lebih terasa ringan, tiba tiba saja kami sampai pos 6, buang hajat sebentar, lalu lanjut mendaki. Sebelum sampai pos 7, kami bertemu pertemuan antara jalur Pemancar dan Kiara Janggot. Setelah melewati persimpangan, berarti perjalanan sisa sedikit lagi, melewati pos 7, kemudian pos 8, dan 5 menit dari pos 8 kami sampai di Puncak Gunung Cikuray tepat pukul 07.00.

Sunrise di tengah summit attack

Seperti biasa, di puncak saatnya selebrasi dan dokumentasi. Setelah dirasa cukup, pukul 07.50 kami kembali turun ke camp di pos 5, sampai pos 5 jam 10, kemudian makan terlebih dahulu sembari packing, dan tepat sebelum dzuhur kami sudah siap turun. Perjalanan turun menggunakan sisa-sisa tenaga, sampai pos 1 aku masih menjaga supaya anggota pendakian tetap rapat dan tidak saling meninggalkan. Setelah sampai pos 1 pukul 13.00, baru aku mempersilahkan Habibie dan Daffa untuk mendahului, karena jalur yang juga sudah jelas dari sini.  Musabab kaki Tiara terluka, perjalanan aku dan Tiara menjadi lebih lambat menuju basecamp, sehingga baru sampai basecamp jam 14.30. Kemudian istirahat sebentar sembari berganti pakaian bersih, sekitar pukul 17.00 kami pamit dari basecamp menuju ke terminal, lalu perjalanan dilanjutkan menggunakan bus menuju Jakarta.

Kami di Puncak Cikuray
Layaknya kalimat awal tulisan ini, kita tidah pernah tahu kapan titik nol akan mampir di hidup kita. Satu hal yang pasti, waktu tersebut sudah pasti akan mampir, lalu apa yang akan kita lakukan selanjutnya adalah titik yang akan menentukan hidup kita selanjutnya. Tetap di titik nol selama-lamanya, atau kembali melangkah memulai dari 1 kembali.

Jumat, 29 September 2023

Sebuah Pepatah: Kecil-Kecil Cabai Rawit

Ribuan pepatah yang berlaku di dunia ini, tapi satu yang paling cocok untuk pendakian kali ini, "Kecil-Kecil Cabai Rawit". 

Pada akhir Juni 2023, tepatnya di tanggal 24-25 Juni, syukur masih memiliki kesempatan untuk mendaki gunung kembali. Pendakian kali ini tidak terlalu jauh tapi sangat berkesan dan menjadi salah satu gunung yang membuat aku penasaran sejak 4 tahun yang lalu, Gunung Salak. Seperti biasa, hari-hari kini, selalu memutuskan mendaki dengan jumlah yang tidak terlalu banyak supaya lebih mudah mengorganisir tim. Sehingga kali ini pendakian terdiri dari 4 orang, aku, Tiara, Ridwan (kawan lama yang akhirnya berhasil berjumpa lagi di trek pendakian), dan Habibie (pemula di pendakian kali ini). Sebenarnya sebuah keputusan yang berani untuk mengajak pemula mendaki Gunung Salak, tapi apa boleh dikata, aku selalu punya prinsip jangan berikan pemula gunung yang "enak" karena nanti jadi meremehkan pendakian gunung. Lagipula Gunung Salak juga sudah terkenal menjadi spot favorit tempat pelatihan dan pendidikan (Diklat) ratusan organisasi pecinta alam di Jabodetabek, jadi inilah saatnya. 

Kesepakatan membawa kami memilih jalur pendakian Pasir Reungit yang terletak di Leuwiliang, Bogor. Pasir Reungit memang jalur terpanjang dibanding dua lainnya yaitu Cidahu dan Cimelati, namun karena pertimbangan akses yang lebih mudah sekaligus melewati Kawah Ratu, jadi Pasir Reungit terpilih, sambil menyelam minum air, begitulah kira-kira. Pada tanggal 23 Juni 2023 kami sepakat berkumpul di rumahku, yang sekaligus rumah Tiara juga. Kami packing sebentar di malam hari dan melakukan pemeriksaan terakhir supaya tidak ada yang tertinggal, lalu kami istirahat. Pada pukul 02.00 WIB, kami mulai bangun, dan persiapan untuk melakukan perjalanan menuju pintu pendakian Pasir Reungit menggunakan sepeda motor. Ya, pendakian ini agak berbeda, karena Gunung Salak yang relatif masih dekat, aku memutuskan menggunakan motor saja untuk sampai ke basecamp, walaupun itu artinya harus menyetir sendiri yang membutuhkan tenaga, tapi tak apa. Jam 03.00 kami berangkat setelah pamit dengan orang tua, sekitar jam 05.30 kami sudah sampai di basecamp Pasir Reungit diselingi berputar-putar sebentar karena jalur masuk basecamp yang tidak terekspos di pinggir jalan. Kemudian kami melaksanakan Shalat Shubuh yang terlambat, sarapan, sembari menunggu petugas basecamp datang, kemudian registrasi, dan pendakian dimulai pada pukul 08.00. 

Trek awal pendakian termasuk masih sangat ramah pendaki pemula, landai, batu yang tersusun, dan jelas, sehinga kemungkinan kecil untuk mengalami disorientasi arah. Sepanjang jalur pendakian juga ditemani sungai yang mengalir tanpa henti, itu berarti sumber air sangat aman di Gunung Salak, setidaknya sampai Simpang Bajuri, namun itu berarti jalurnya juga basah dan lembab. Jalur pendakian terus begitu sampai di pukul 11.00 kami sampai di area Kawah Ratu, disini banyak juga dijumpai wisatawan yang hanya sekedar ke Kawah Ratu kemudian pulang. Itu sebabnya jalur dari basecamp dibuat sebaik mungkin karena memang jalur wisata. Di Kawah Ratu cukup lama, sebab selain foto-foto, kami sempat bingung mencari jalur pendakian menuju Simpang Bajuri, sehingga sempat berhenti dan mencari sejenak. Setelah Kawah Ratu istirahat sebentar sekitar 15 menit sembari menunggu waktu dzuhur selesai, kemudian pendakian dilanjutkan menuju Simpang Bajuri, jalurnya pun masih sama, landai dan batu bersusun, karena ini juga menjadi jalur wisata ke Kawah Ratu, namun via Cidahu.

Kemudian pendakian dilanjutkan, sesuai rencana kami akan bangun tenda di Simpang Bajuri, kemudian malam hari summit attack. Setelah melewati pos helipad, kami sampai di Simpang Bajuri sekitar jam 13.00. Lalu kami membangun tenda, mengambil persediaan air, memasak untuk makan siang, kemudian istirahat. Selama siang sampai malam pun tidak ada aktivitas yang terlalu berarti, malam memasak lagi, makan, kemudian istirahat untuk persiapan summit attack, karena perjalanan summit attack lebih panjang dari perjalanan hari ini, iya, masih 5 Km lagi serta 5 jam estimasi. Aku lupa bilang, sepatu Tiara sudah jebol saat ini, sehingga harus ada yang berkorban.

Malam harinya kami bangun, dengan persediaan nasi yang sudah dimasak sebelum tidur, kami memasak mi instan untuk tenaga tambahan sebelum summit. Setelah berbagai persiapan, kami memulai pendakian menuju puncak tepat pukul 03.00 WIB. Saat itu sepertinya baru kami yang mulai berjalan walaupun sebenarnya itu juga sudah telat 2 jam dari rencana awal, sebab pada pukul 01.00 kabut masih cukup tebal sehingga aku tidak berani untuk membawa tim berjalan. Perjalanan menuju puncak memiliki tekstur tanah, lembab, dan beberapa tempat mewajibkan pendaki rela kakinya terendam tanah setinggi mata kaki. Walaupun begitu, setiap 100 meter jalur menuju puncak terdapat patok yang dimulai dari HM 1 sampai dengan HM 50 (Puncak Salak 1), sehingga jika dalam kurun langkah tertentu HM tersebut tidak kita temukan, sudah dapat dipastikan, kita salah jalur.

Pendakian awal masih bugar, bahkan kami baru berhenti ketika adzan shubuh berkumandang, sekitar pukul 04.30 di antara HM 17 dan 18. Perjalanan menuju puncak pun kami sempat bertemu dengan beberapa pendaki yang ternyata bermalam, padahal kami pikir Simpang Bajuri adalah campsite terakhir. Kami bertemu kumpulan tenda yang cukup banyak di HM 25, dan di HM 30 kami juga bertemu satu tenda yang pada saat itu matahari sudah menampakkan sinarnya. Kami terus berjalan, beberapa jalur justru turun dahulu baru naik kembali, jalur menuju puncak ini memang banyak diputar karena memang cukup vertikal jika langsung menanjak. Kami sampai di Puncak Bayangan, juga tepat HM 39 sekitar jam 07.30, kami istirahat sebentar, karena setelah ini kami akan mendaki tebing, bukan tanah lagi.

Beberapa tebing harus dilewati dari Puncak Bayangan menuju Puncak 1, untungya di setiap tebing juga terdapat tali sebagai bantuan untuk mendaki. Memasuki HM 49, dapat dibilang pendakian "selesai" karena jalur melandai dan melewati kumpulan pohonan, sampai akhirnya 100 meter kemudian kami sampai di HM 50 sekaligus Puncak Salak 1 pada pukul 09.00 disertai puluhan tenda yang bermalam di atas, yang tidak kami sangka ternyata ada yang bermalam di Puncak. Pendaki yang bermalam di puncak sebagian besar berasal dari jalur Cimelati, namun ada beberapa pula yang berasal dari jalur Cidahu dan Pasir Reungit. 45 menit selebrasi, setelah itu usai, kami harus turun lagi ke Simpang Bajuri, 5 Km lagi harus ditempuh.

Formasi saat turun berubah, aku meminta Ridwan duluan saja dan turun lebih cepat untuk memasak sembari mencicil merapihkan tenda, sebab jika mengikuti tempo Tiara dan Habibie, mungkin kami akan sampai basecamp larut malam. Benar saja, Ridwan sampai sekitar waktu dzuhur, dan kami bertiga sampai di jam 13.00, syukur nasi sudah matang sehingga tersisa memasak sayur. Kemudian kami makan, berkemas, dan turun tepat pukul 15.00. Perjalanan turun sampai Kawah Ratu semua masih normal, 50 menit kami sampai Kawah Ratu. Tetapi dari Kawah Ratu menuju basecamp, ada sesuatu yang terjadi entah apa. Saat mendaki, kami membutuhkan 3 jam menuju Kawah Ratu, dan ternyata, saat turun kami menghabiskan waktu 3 jam juga sehingga baru sampai di Basecamp pukul 19.00, sangat di luar dugaan dan tidak pernah mengalami hal seperti ini, sebab seharusnya perjalanan turun lebih cepat dari perjalanan naik. Tapi sampai saat ini, aku belum tahu apa yang terjadi, semoga baik-baik saja.

Setelah makan dan berkemas, pendakian berarti selesai. Aku, Tiara, dan Habibie pulang menuju rumahku, sedangkan Ridwan langsung bertolak ke rumahnya, kami berpisah arah di Parung, dan suatu saat akan kembali lagi ke Salak, karena seluruh foto di kamera hilang sebab SD Card terpaksa diformat.

Setiap pendakian selalu punya ceritanya masing-masing, begitu juga Gunung Salak. Konon katanya Salak bukan berarti buah yang kita kenal, namun berasal dari kata Salaka yang berarti "Perak". Sehingga secara harfiah Gunung Salak memiliki arti Gunung Perak. Tapi apapun itu, bagiku, Gunung Salak adalah kecil-kecil cabai rawit!

Jumat, 08 Mei 2020

Keputusan Luar Biasa di Tengah Pandemi yang Melanda

2020 memang menjadi tahun yang mengejutkan bagi Indonesia bahkan untuk dunia. Tak disangka wabah melanda dan membuat segala aktivitas terbatas. Di tengah kejadian tersebut, ada satu keputusan yang dapat disoroti di negara ini, “Pembebasan narapidana”. Keputusan ini dibuat oleh Kementrian Hukum dan HAM yang disampaikan oleh bapak Yasonna Laoly selaku menteri hukum dan HAM, keputusan yang cukup kontroversial dan menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat.

Disampaikan bahwa tujuan utama Kemenkumham melakukan ini adalah untuk menekan laju penyebaran virus corona di dalam Lembaga Pemayarakatan (LAPAS) dan Yasonna Laoly berdalih “Hanya orang yang sudah tumpul rasa kemanusiaannya dan tidak menghayati sila kedua Pancasila, yang tidak menerima pembebasan napi di lapas over kapasitas”. Begitu katanya, tapi mari dikulik lebih dalam dari dua sisi, apa yang menyebabkan keputusan ini dibuat dan apa sebab keputusan ini ada yang menolak.

Sisi baiknya, sesuai dengan yang dipaparkan Yasonna Laoly tindakan ini sudah sesuai dengan anjuran Komisi Tinggi PBB untuk HAM, dan Sub Komite PBB Anti – Penyiksaan. Itu artinya Indonesia menjadi negara yang dianggap patuh di mata PBB pula Iran dan Brazil yang lebih dahulu merespon anjuran ini dengan jumlah 95.000 orang dan 34.000 orang. Hal lain pula, jika memang LAPAS kelebihan kapasitas, itu berarti LAPAS menjadi lebih lengang dengan pelepasan sebagian napi dan menjadi lebih memungkinkan untuk melakukan physical distancing di dalam LAPAS yang berarti pula hal itu sesuai dengan anjuran WHO dan pemerintah. Yang perlu dipahami juga napi yang dibebaskan harus memiliki kriteria, yaitu : sudah dalam 2/3 masa pidana untuk dewasa dan ½ untuk anak jatuh sampai 31 Desember 2020, tidak sedang menjalani subsider, dan bukan WNA. Yang dibebaskan tidak termasuk dalam napi terorisme, narkotika, korupsi, dan kejahatan terhadap keamanan negara. Dengan kata lain, mereka adalah kriminal biasa atau napi pidana umum. Jadi, bukan sembarang napi lah yang dibebaskan namun terdapat kriteria tertentu yang harus dipenuhi, jika kriteria tersebut terpenuhi napi dapat bebas.

Bukan hanya keputusan, semua hal pasti memiliki sisi buruknya, mari kita bahas. Pembebasan napi dari dalam LAPAS mungkin memang untuk menekan penyebaran virus di dalam LAPAS, namun bagaimana jika sudah ada napi yang positif COVID-19 namun belum terdeteksi dan terlanjur dibebaskan, hal itu malah menyebabkan penyebaran virus di tempat yang lebih luas. Selanjutnya, pelepasan napi memiliki resiko yang cukup tinggi jika saja napi melakukan kejahatan yang sama setelah dibebaskan dan sudah terbukti sejumlah napi di berbagai daerah ditangkap karena melakukan kejahatan lagi setelah dibebaskan. Memang, jika menolak pembebasan napi di LAPAS yang over kapasitas dianggap tidak memiliki kemanusiaan tidak dapat disalahkan begitu saja. Tetapi, membuat keputusan napi dibebaskan dan kemudian kembali melakukan kejahatan kepada orang tidak bersalah di tengah ekonomi yang juga sedang susah apakah dapat disebut “Rasa Kemanusiaan”, ini yang unik.

Terlepas dari perdebatan yang terjadi, keputusan ini sudah terlanjur disahkan, per 08 April 2020 pukul 9 pagi, sebanyak 33.078 napi dewasa dan 783 napi anak dibebaskan dengan menjalani program asimilasi, serta 1.776 napi dewasa dan 39 anak menjalani program integrasi. Semoga di tengah wabah kita selalu mendapat berkah. Semoga di tengah susah kita selalu dapat mudah.

-Imam Panji

Rabu, 27 November 2019

Yang Tergantikan

Manusia, makhluk fana yang hatinya sulit diterima dan tidak setia. Jika punya barang, di awal cinta, setahun kemudian ingin ganti keluaran terkini. Begitu juga rekan pendakian, yang terpaksa tergantikan walaupun bukan karena rasa bosan.

2 bulan terhitung sejak Agustus, ada rasa yang kurang jika tidak tahu Semarang dan sekitarnya. Oleh karena itu, keputusan bulat untuk kembali lagi ke gunung sekedar melepas rindu akan letihnya berjalan. Tapi, masalah kembali muncul domisili saya di Semarang tidak mungkin mengajak rekan setia pendakian yang sekarang masih sibuk mengurus pendidikan di Ibukota. Apalagi tiba - tiba meminta ayah untuk datang ke Semarang hanya untuk sekedar mendaki, ah lucu sekali.

Takdir menjawab, rekan pendakian datang tiga orang ditambah baru saja menyelesaikan UTS membuat perkuliahan sedikit santai.


Perkenalkan,
Imam Panji, Akuntansi 2019
Uli Kurniawan, Teknik Mesin 2018
Abid Muflih, Teknik Mesin 2018
Kevin Razak, Teknik Mesin 2018

Perbedaan yang sangat tajam bukan ?

Perjalanan di mulai dari Tembalang pukul 00.00 dengan 2 sepeda motor, menembus dinginnya malam dan jauhnya perjalanan, sekitar jam 01.45 kami sudah sampai di Desa Sawit, salah satu Desa yang dijadikan pos lapor pendakian Gunung Andong. Segera istirahat sejenak dan memulai pendakian jam 03.00. Namun sayang, di pos 2 kendala melanda, mas Abid pusing. Entah karena kurang tidur, kurang makan, atau kurang kasih sayang. Istirahat agak lama disini untuk meredakan pusing di kepala sambil menenggak beberapa obat yang kebetulan kami bawa.
Registrasi





Dengan kesepakatan bersama, perjalanan di lanjutkan, sebelum sampai pos 3, tersadar Merbabu dan Merapi sudah mengintip akibat sinar mentari yang perlahan terbit. Semangat kembali terpicu, mas Abid yang sempat pusing kini memimpin kami di depan. Sampai puncak pukul 04.30 dan terkejut akan terpaan angin, tersedianya warung, dan tidak ada lahan luas untuk berjalan (sangat penuh dengan tenda). Ya sudah, karena sudah sampai dan matahari masih bersembunyi, tunaikan ibadah sejenak dengan segala keterbatasan setelah itu menanti mentari terbit sambil menyantap kudapan yang kami bawa.
Terima kasih Andong.

Kelak kami kembali.

Menikmati puncak, indahnya Merbabu, Merapi, Sindoro, dan Sumbing di kejauhan. Jam 06.30 Tembalang kembali memanggil kami untuk kuliah, karena ada 21 SKS pekan depan, iya kembali beraktivitas. Sampai di bawah jam 07.30 kemudian langsung meredakan dahaga dengan es campur di jam yang masih sangat pagi, kemudian melanjutkan sarapan dan istirahat sejenak sebelum perjalanan pulang. Jam 12.00 kami terbangun kemudian menuju Tembalang dan perjalanan usai tapi kenangannya tidak.


Menanti Restu Bapak Ibu.

Kebanyakan hal harus tergantikan di dunia ini, entah terpaksa atau karena keinginan. Kendaraan, gawai, pasangan, rasa sedih, rasa senang, termasuk juga rekan pendakian. Walaupun jujur tidak ingin terganti, tapi pada akhirnya kami memiliki jalan masing - masing yang seharusnya itu saya sadari sedari awal.

Salam sayang,
Imam Panji

Dipersembahkan kepada rekan pendakian yang memutuskan pergi dan akan terganti.




Mungkin akan sangat aneh rasanya jika suatu saat nanti saya melupakan pernah mendaki bersama kalian.