Minggu, 25 November 2018

Tanggung Jawab

Ada orang yang mulai mendaki gunung karena diajak kerabat, ada juga yang mendaki setelah rasa penasaran tumbuh akibat melihat foto keindahan gunung, ada yang memulainya karena coba - coba. Tapi, saya mulai mendaki karena Ayah.

Ya begitulah semuanya terjadi, akibat rencana pendakian Gunung Lawu yang tertunda bulan September lalu akibat kebakaran hutan yang mengakibatkan jalur pendakian ditutup. Akhirnya, 22 November kemarin saya kembali ke Lawu untuk menuntaskan segalanya yang tertunda di bulan September. Tak banyak yang berubah, rekan pendakian saya masih ayah dan adik saya tak ada tambahan atau pengurangan apapun.

Setelah memesan tiket kereta jauh hari, selepas pulang beraktivitas saya langsung berangkat menuju Stasiun Pasar Senen untuk mengantar bunda dan adik - adik saya terlebih dahulu untuk naik kereta dari sana. Sedangkan saya dan ayah menaiki kereta yang berbeda pada malam harinya dari Stasiun Gambir. Kereta sama - sama membawa kami menuju kota yang indah, Surakarta.

Akibat berangkat lebih dahulu, Bunda sampai di Surakarta terlebih dahulu dan langsung singgah di kediaman Mbah Tino yang kisahnya sempat saya ceritakan di sini ataupun di sini. Setelah itu saya dan Ayah sampai di Surakarta sekitar jam 5 pagi kemudian langsung bertolak pula ke kediaman Mbah Tino untuk istirahat sejenak sebelum melanjutkan pendakian. Di sana kami istirahat, sarapan, sekaligus berbenah diri sebelum melanjutkan perjalanan kembali.

Jam 08.30 setelah segalanya rapih kami segera hendak menuju Cemoro Sewu (basecamp pendakian Gunung Lawu di Jawa Timur) yang jaraknya hanya berselang 500 meter dari basecamp Cemoro Kandang. Perjalanan tak membutuhkan waktu lama, jam 09.30 kami sudah sampai di Cemoro Sewu. Dan karena hari ini adalah hari Jumat jadi saya tidak langsung mendaki melainkan menunggu sampai setelah Shalat Jumat dan baru mendaki setelah Shalat Jumat selesai. Letak masjid yang bersebrangan dengan basecamp pun membuat pelaksanaan Shalat Jumat jadi lebih mudah karena tidak perlu mencari masjid yang letaknya jauh dengan basecamp.

Lawu dari arah Tawangmangu
Cemoro Sewu














Selepas Shalat Jumat, tepat pukul 12.35 saya, ayah dan adik saya yang pertama memulai pendakian, sedangkan bunda dan adik saya yang selanjutnya menunggu di penginapan yang letaknya juga tak jauh dari basecamp. Jalur pendakian di Cemoro Sewu mirip sekali dengan jalu pendakian Gede Pangrango via Cibodas, jalurnya yang jelas dan tersusun batu rapih membuat pendakian tidak terlalu membingungkan karena tugas pendaki hanya mengikuti susunan batu yang sudah rapih. Tapi disisi lain, jalur yang seperti ini lebih cepat membuat kaki nyeri dan sakit untuk melangkah.

Setelah 1 jam berjalan naik dan diselingi beberapa kali istirahat, kami sampai di pos 1 (Wes - Wesan). Di pos 1 terdapat warung yang menjajakan makanan dan minuman dan juga lahan yang cukup untuk 2 -3 tenda. Tetapi, mendirikan tenda di pos 1 bukanlah hal yang saya rekomendasikan karena dari sini perjalanan menuju puncak sangat masih jauh. Setelah beristirahat sejenak untuk membasahi kerongkongan, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Pos 1 Wes - Wesan
Pendakian menuju pos 2 adalah pendakian yang cukup panjang dan jalur pun masih didominasi bebatuan yang tersusun. Matahari yang kian melunak panasnya membuat energi kami setidaknya lebih tersimpan untuk mendaki walaupun tetap saja melelahkan. Setelah 1 jam 40 menit mendaki kami tiba di pos 2 dan tidak terdapat siapa - siapa lagi disana. Disini juga terdapat warung, tetapi saat kami sampai warung tersebut masih tutup.

Jam 15.30 pendakian kembali dilanjutkan, dan setelah dapat omongan dari sana - sini katanya jalur dari pos 2 - pos 3 adalah jalur pendakian terberat menuju Puncak Gunung Lawu. Tetapi, menurut saya selama mendaki pun jalur ini bukanlah yang tersulit karena setelah 1 jam 5 menit kami bisa sampai di pos 3. Dan kondisinya pun sama, disini hanya ada kami bertiga, ya dapat dimaklumi karena kami mulai mendaki di hari Jumat sedangkan Gunung Lawu biasanya ramai pendaki di hari Sabtu dan Minggu. Di pos 3 kami memutuskan untuk membuka perbekalan untuk mengisi perut yang mulai keroncongan sebelum berunding mau melanjutkan perjalanan atau mendirikan tenda di pos 3.

Setelah makan, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan akan bermalam di pos 5, tetapi dengan pertimbangan kami pasti akan melakukan pendakian di malam hari yang sebenarnya tidak direkomendasikan karena jarak pandang menjadi terbatas. Tetapi, keputusan untuk mendaki di malam hari juga penuh pertimbangan, karena jika bermalam di pos 3 / pos 4 bau belerang dari Kawah Condrodimuko masih sangat tercium, sehingga jika bermalam disana sangat berbahaya dan kemungkinan terburuk adalah kehilangan nyawa karena terlalu lama menghirup aroma belerang. Jadi, menurut kami pos 5 adalah tempat yang ideal untuk bermalam, selain tidak tercium aroma belerang, pendakian menuju puncak dari pos 5 cenderung dekat dan tidak memakan waktu lama.

Naasnya, baru 10 menit mendaki kembali dari pos 3 kaki kanan saya keram yang mengakibatkan pendakian menjadi tertunda. Dengan insiden ini, untuk sementara carrier yang saya gendong pun digendong ayah sampai kondisi kaki saya benar - benar kembali membaik, dan tas selempang yang ayah bawapun menjadi saya yang membawanya. Dan ternyata salah, entah karena pendakian dari pos 3 ini saya mengalami keram atau bagaimana, menurut saya pendakian dari pos 3 menuju pos 4 adalah yang terberat untuk pendakian via Cemoro Sewu. Di tengah perjalanan menuju pos 4 ternyata mentari mulai bersembunyi dan mulai berganti tugas dengan sang rembulan untuk menemani langkah kami. Sebelum sampai pos 4, saya kembali menggendong carrier karena saya rasa kaki saya sudah bisa diajak kompromi. Karena agak tega juga jika membiarkan ayah menggendong carrier terlalu lama, jadi biarkan saja saya.

Perjalanan senja menuju pos 4
Lautan awan menuju pos 4










Setelah 1 jam 40 menit juga lah kami tiba di pos 4 yang kami tidak berlama - lama disini karena kami tahu dari pos 4 perjalanan ke pos 5 hanya memakan waktu yang relatif singkat. Dan benar saja 20 menit mendaki dengan nafas yang ngos - ngosan  kami tiba di pos 5 tempat kami akan bermalam. Alih - alih mendirikan tenda, kami malah bermalam di warung yang terdapat di pos 5, maklum karena malam itu kami sudah kelelahan dan terdapat warung, kenapa tidak bermalam di warung saja daripada harus membongkar tenda terlebih dahulu baru bisa tidur. Akhirnya malam itu kami tidur lebih awal untuk dini harinya nanti kembali bangun untuk melakukan perjalanan menuju puncak dan menyambut mentari pagi.

Jam 03.30 di hari berikutnya kami bangun, dan sebenarnya itu telat satu jam dari alarm yang saya pasang, maklum lelah. Sehabis itu kami bersiap - siap sejenak dan tepat jam 03.55 kami kembali melangkah. Di perjalanan menuju puncak kami sempat tersesat sebentar di jalur sebelum sampai Sendang Drajat, untungnya akibat tidak yakin bahwa itu adalah jalur pendakian kami memutuskan untuk berbalik arah dan tidak melanjutkan jalur yang salah.

Dan jam 05.05 kami sampai di puncak Hargo Dumilah yaitu puncak tertinggi gunung Lawu dan sama seperti keadaan sebelumnya tidak ada siapa - siapa disana. Jelas, rasa lelah semua terbayar disana, dari sini terlihat Merapi, Merbabu, Sindoro dan juga Sumbing yang nampak di arah barat, dan gunung Ngliman yang ada di arah Timur kami. Sekitar 10 menit di atas, ternyata ada yang menyusul kami yaitu turis asal Republik Ceko yang sempat bertemu dengan kami di jalur sebelum pos 1. Bahkan saya pikir dia sudah sampai puncak duluan tetapi ternyata kami disana terlebih dahulu. Ya setelah itu kami kembali ke pos 5 dan sarapan kemudian mengemas ulang carrier yang dibawa kemudian melakukan perjalanan turun sekitar jam 07.20.

Hargo Dumilah with Mr.
Yasudah, kami bisa sampai basecamp jam 10.30 pun sudah sangat senang, disana kami disambut bunda yang sudah menunggu dengan Cantika, setelah itu kami istirahat sejenak kemudian jam 13.00 kami bertolak kembali ke kediaman Mbah Tino dan jam 18.35 kereta Brantas membawa kami dari Surakarta kembali menuju Ibukota.

Tak bisa dipungkiri, ayah merupakan orang tua yang bertanggung jawab begitupun dengan bunda, dan itu benar - benar sifat yang mungkin tumbuh dari kebiasaannya mendaki sewaktu muda dahulu. Saya mulai mendaki karena berhasil menemukan foto ayah di Mahameru tahun 1999 yang lalu. Hal itulah yang membuat saya termotivasi, sampai pendakian pertama saya dan adik saya pun ditemani oleh ayah dan ayah yang mengajarkan segalanya tentang gunung. Singkatnya, tanggung jawab adalah hasil didikan dari gunung, Setelah kita berjibaku bagaimana caranya bertahan hidup di ketinggian dan kedinginan.

Ok sekian dulu kisah dari Lawu, maaf sekali menggangu waktu persiapan ujianya esok hari tapi terimakasih mau membaca. Jika tulisan ini bermanfaat silahkan komentari atau tinggalkan tanda suka di bawah atau kalian mau sebarluaskan pun tak apa - apa. Jika nampak ada yang kurang ataupun kesalahan, komentar di bawah pun tak dilarang asal dengan bahasa yang sopan,

Jadi, kapan mau mulai menjelajah ?

Yang terakhir kali ini.
Tetap terpelajar,

-Imam Panji