Ribuan pepatah yang berlaku di dunia ini, tapi satu yang paling cocok untuk pendakian kali ini, "Kecil-Kecil Cabai Rawit".
Pada akhir Juni 2023, tepatnya di tanggal 24-25 Juni, syukur masih memiliki kesempatan untuk mendaki gunung kembali. Pendakian kali ini tidak terlalu jauh tapi sangat berkesan dan menjadi salah satu gunung yang membuat aku penasaran sejak 4 tahun yang lalu, Gunung Salak. Seperti biasa, hari-hari kini, selalu memutuskan mendaki dengan jumlah yang tidak terlalu banyak supaya lebih mudah mengorganisir tim. Sehingga kali ini pendakian terdiri dari 4 orang, aku, Tiara, Ridwan (kawan lama yang akhirnya berhasil berjumpa lagi di trek pendakian), dan Habibie (pemula di pendakian kali ini). Sebenarnya sebuah keputusan yang berani untuk mengajak pemula mendaki Gunung Salak, tapi apa boleh dikata, aku selalu punya prinsip jangan berikan pemula gunung yang "enak" karena nanti jadi meremehkan pendakian gunung. Lagipula Gunung Salak juga sudah terkenal menjadi spot favorit tempat pelatihan dan pendidikan (Diklat) ratusan organisasi pecinta alam di Jabodetabek, jadi inilah saatnya.
Kesepakatan membawa kami memilih jalur pendakian Pasir Reungit yang terletak di Leuwiliang, Bogor. Pasir Reungit memang jalur terpanjang dibanding dua lainnya yaitu Cidahu dan Cimelati, namun karena pertimbangan akses yang lebih mudah sekaligus melewati Kawah Ratu, jadi Pasir Reungit terpilih, sambil menyelam minum air, begitulah kira-kira. Pada tanggal 23 Juni 2023 kami sepakat berkumpul di rumahku, yang sekaligus rumah Tiara juga. Kami packing sebentar di malam hari dan melakukan pemeriksaan terakhir supaya tidak ada yang tertinggal, lalu kami istirahat. Pada pukul 02.00 WIB, kami mulai bangun, dan persiapan untuk melakukan perjalanan menuju pintu pendakian Pasir Reungit menggunakan sepeda motor. Ya, pendakian ini agak berbeda, karena Gunung Salak yang relatif masih dekat, aku memutuskan menggunakan motor saja untuk sampai ke basecamp, walaupun itu artinya harus menyetir sendiri yang membutuhkan tenaga, tapi tak apa. Jam 03.00 kami berangkat setelah pamit dengan orang tua, sekitar jam 05.30 kami sudah sampai di basecamp Pasir Reungit diselingi berputar-putar sebentar karena jalur masuk basecamp yang tidak terekspos di pinggir jalan. Kemudian kami melaksanakan Shalat Shubuh yang terlambat, sarapan, sembari menunggu petugas basecamp datang, kemudian registrasi, dan pendakian dimulai pada pukul 08.00.
Trek awal pendakian termasuk masih sangat ramah pendaki pemula, landai, batu yang tersusun, dan jelas, sehinga kemungkinan kecil untuk mengalami disorientasi arah. Sepanjang jalur pendakian juga ditemani sungai yang mengalir tanpa henti, itu berarti sumber air sangat aman di Gunung Salak, setidaknya sampai Simpang Bajuri, namun itu berarti jalurnya juga basah dan lembab. Jalur pendakian terus begitu sampai di pukul 11.00 kami sampai di area Kawah Ratu, disini banyak juga dijumpai wisatawan yang hanya sekedar ke Kawah Ratu kemudian pulang. Itu sebabnya jalur dari basecamp dibuat sebaik mungkin karena memang jalur wisata. Di Kawah Ratu cukup lama, sebab selain foto-foto, kami sempat bingung mencari jalur pendakian menuju Simpang Bajuri, sehingga sempat berhenti dan mencari sejenak. Setelah Kawah Ratu istirahat sebentar sekitar 15 menit sembari menunggu waktu dzuhur selesai, kemudian pendakian dilanjutkan menuju Simpang Bajuri, jalurnya pun masih sama, landai dan batu bersusun, karena ini juga menjadi jalur wisata ke Kawah Ratu, namun via Cidahu.
Kemudian pendakian dilanjutkan, sesuai rencana kami akan bangun tenda di Simpang Bajuri, kemudian malam hari summit attack. Setelah melewati pos helipad, kami sampai di Simpang Bajuri sekitar jam 13.00. Lalu kami membangun tenda, mengambil persediaan air, memasak untuk makan siang, kemudian istirahat. Selama siang sampai malam pun tidak ada aktivitas yang terlalu berarti, malam memasak lagi, makan, kemudian istirahat untuk persiapan summit attack, karena perjalanan summit attack lebih panjang dari perjalanan hari ini, iya, masih 5 Km lagi serta 5 jam estimasi. Aku lupa bilang, sepatu Tiara sudah jebol saat ini, sehingga harus ada yang berkorban.
Malam harinya kami bangun, dengan persediaan nasi yang sudah dimasak sebelum tidur, kami memasak mi instan untuk tenaga tambahan sebelum summit. Setelah berbagai persiapan, kami memulai pendakian menuju puncak tepat pukul 03.00 WIB. Saat itu sepertinya baru kami yang mulai berjalan walaupun sebenarnya itu juga sudah telat 2 jam dari rencana awal, sebab pada pukul 01.00 kabut masih cukup tebal sehingga aku tidak berani untuk membawa tim berjalan. Perjalanan menuju puncak memiliki tekstur tanah, lembab, dan beberapa tempat mewajibkan pendaki rela kakinya terendam tanah setinggi mata kaki. Walaupun begitu, setiap 100 meter jalur menuju puncak terdapat patok yang dimulai dari HM 1 sampai dengan HM 50 (Puncak Salak 1), sehingga jika dalam kurun langkah tertentu HM tersebut tidak kita temukan, sudah dapat dipastikan, kita salah jalur.
Pendakian awal masih bugar, bahkan kami baru berhenti ketika adzan shubuh berkumandang, sekitar pukul 04.30 di antara HM 17 dan 18. Perjalanan menuju puncak pun kami sempat bertemu dengan beberapa pendaki yang ternyata bermalam, padahal kami pikir Simpang Bajuri adalah campsite terakhir. Kami bertemu kumpulan tenda yang cukup banyak di HM 25, dan di HM 30 kami juga bertemu satu tenda yang pada saat itu matahari sudah menampakkan sinarnya. Kami terus berjalan, beberapa jalur justru turun dahulu baru naik kembali, jalur menuju puncak ini memang banyak diputar karena memang cukup vertikal jika langsung menanjak. Kami sampai di Puncak Bayangan, juga tepat HM 39 sekitar jam 07.30, kami istirahat sebentar, karena setelah ini kami akan mendaki tebing, bukan tanah lagi.
Beberapa tebing harus dilewati dari Puncak Bayangan menuju Puncak 1, untungya di setiap tebing juga terdapat tali sebagai bantuan untuk mendaki. Memasuki HM 49, dapat dibilang pendakian "selesai" karena jalur melandai dan melewati kumpulan pohonan, sampai akhirnya 100 meter kemudian kami sampai di HM 50 sekaligus Puncak Salak 1 pada pukul 09.00 disertai puluhan tenda yang bermalam di atas, yang tidak kami sangka ternyata ada yang bermalam di Puncak. Pendaki yang bermalam di puncak sebagian besar berasal dari jalur Cimelati, namun ada beberapa pula yang berasal dari jalur Cidahu dan Pasir Reungit. 45 menit selebrasi, setelah itu usai, kami harus turun lagi ke Simpang Bajuri, 5 Km lagi harus ditempuh.
Formasi saat turun berubah, aku meminta Ridwan duluan saja dan turun lebih cepat untuk memasak sembari mencicil merapihkan tenda, sebab jika mengikuti tempo Tiara dan Habibie, mungkin kami akan sampai basecamp larut malam. Benar saja, Ridwan sampai sekitar waktu dzuhur, dan kami bertiga sampai di jam 13.00, syukur nasi sudah matang sehingga tersisa memasak sayur. Kemudian kami makan, berkemas, dan turun tepat pukul 15.00. Perjalanan turun sampai Kawah Ratu semua masih normal, 50 menit kami sampai Kawah Ratu. Tetapi dari Kawah Ratu menuju basecamp, ada sesuatu yang terjadi entah apa. Saat mendaki, kami membutuhkan 3 jam menuju Kawah Ratu, dan ternyata, saat turun kami menghabiskan waktu 3 jam juga sehingga baru sampai di Basecamp pukul 19.00, sangat di luar dugaan dan tidak pernah mengalami hal seperti ini, sebab seharusnya perjalanan turun lebih cepat dari perjalanan naik. Tapi sampai saat ini, aku belum tahu apa yang terjadi, semoga baik-baik saja.
Setelah makan dan berkemas, pendakian berarti selesai. Aku, Tiara, dan Habibie pulang menuju rumahku, sedangkan Ridwan langsung bertolak ke rumahnya, kami berpisah arah di Parung, dan suatu saat akan kembali lagi ke Salak, karena seluruh foto di kamera hilang sebab SD Card terpaksa diformat.
Setiap pendakian selalu punya ceritanya masing-masing, begitu juga Gunung Salak. Konon katanya Salak bukan berarti buah yang kita kenal, namun berasal dari kata Salaka yang berarti "Perak". Sehingga secara harfiah Gunung Salak memiliki arti Gunung Perak. Tapi apapun itu, bagiku, Gunung Salak adalah kecil-kecil cabai rawit!