Senin, 23 Desember 2024

Tidak Sesuai Harapan

Hidup selalu memiliki kejutan di setiap perjalanannya. Yang kali ini tidak sesuai harapan.

Petualangan kembali membawaku bersama Habibie, Daffa, dan Nabil melakukan pendakian. Saat ini Nabil adalah pemula, yang sebenarnya kemampuannya sangat aku khawatirkan. Tapi biarlah, selalu percaya rekan pendakian penting untuk menjaga suasana pikiran tetap kondusif. Sebelum lebih jauh, pendakian kali ini menuju ke Gunung Gede, gunung yang sangat menjadi andalan kawan-kawan di Jabodetabek sebagai tempat healing yang dekat-dekat saja. Namun supaya pendakian berbeda, aku memutuskan tidak lewat jalur Cibodas ataupun Gunung Putri, pendakian dilakukan melalui jalur Selabintana, jalur terpanjang dan tersulit untuk menggapai Puncak Gunung Gede.

Beli sayur di Sukabumi

Pendakian dimulai dari rumah untuk bertemu dan menuju basecamp dengan mengendarai motor, untuk menghemat biaya dan karena memang yang tersedia adalah kendaraan roda dua. Setelah melakukan persiapan administrasi, pengecekan perlengkapan, mengemas barang, dan tidur singkat, perjalanan dimulai menuju basecamp Selabintana yang sekaligus kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Perjalanan dimulai sekitar pukul 03.00 WIB, dengan 2 motor dan carrier penuh, kami siap melintas jalur Bogor-Sukabumi. 2,5 jam berkendara sampai kami sampai di Sukabumi kota dan memutuskan untuk istirahat sejenak sembari menunaikan shalat shubuh, sekaligus berbelanja sedikit kebutuhan makanan untuk di jalur pendakian. Sayur adalah makanan wajib, membeli sawi putih, jagung manis, nugget, dan bumbu dapur, sepertinya akan jadi menu yang lezat di atas nanti.

Jam 6 perjalanan di lanjut, di jalan kembali bungkus nasi dan lauk untuk makan siang serta sarapan terlebih dahulu. Supaya kegiatan masak-masak baru dilaksanakan di malam hari. Karena perjalanan yang memang santai, kami sampai basecamp Selabintana jam 8 tepat. Sampai basecamp langsung mengurus administrasi, checklist perlengkapan, dan mengikuti arahan dari pihak basecamp. Administrasi untuk mendaki Gunung Gede Pangrango sudah rapih dan dapat diurus online, jika seluruh berkas lengkap, proses administrasi tidak akan memakan waktu yang lama. Hanya informasi, di basecamp Selabintana sudah tidak ada sinyal provider apapun, untuk akses internet ada fasilitas wifi yang dapat diakses secara gratis, tanya saja kepada petugas untuk kata sandinya.

Sesaat sebelum mendaki

Setelah semua urusan selesai, jam 09.30 kami mulai melangkah, trek dimulai dengan jalur batu bersusun dan menyusuri sungai, maklum jalur awal masih menjadi satu dengan jalur ke Curug Cibereum, jadi dibuat senyaman dan seaman mungkin karena memang jalur wisata. Di 20 menit pertama, belum terasa bahwa Selabintana adalah jalur tersulit untuk mencapai Puncak Gede. Setelah bertemu pertigaan, ambil jalur ke kiri, kemudian kontur jalur berubah, trek tanah dan sepertinya ini jalur pendakian sebenarnya. 15 menit berjalan kami sampai di pos Citingar, ini bukan pos yang luas, hanya ada sedikit dudukan dan plang yang dikaitkan di pohon, kami berisitirahat sejenak disini sebelum melanjutkan perjalanan.

Pertigaan Cibereum dan Jalur Pendakian

Perjalanan selanjutnya merupakan perjalanan pos terpanjang, menuju Cigeber menurut info yang dihimpun, butuh waktu 2,5 jam berjalan. Disinilah tragedi terjadi, di tengah perjalanan menuju Citingar kami sekelompok diserang lebah. Hipotesisnya adalah entah ada sarang lebah yang diserang kawanan hewan lain atau ada pohon tumbang sehingga sarang lebahnya juga hancur, dan ini juga pertama kalina buat kami tersengat lebah, rasanya perih juga. Setelah terkena sengatan lebah, kondisi semakin kacau balau, kami tidak bisa memaksa untuk bergerak. Sebagai tindakan pertolongan pertama, kami disarankan untuk memakan bawang putih secara mentah dan mengoleskan ke bagian yang terkena sengatan. Sebenarnya rasa sengatannya masih terasa, cuma mungkin akan menjadi lebih parah jika tidak dilakukan pertolongan pertama tadi.

Sesaat setelah tersengat kawanan Lebah

Setelah adzan dzuhur berkumandang, kami mencoba melanjutkan perjalanan. Sebenarnya aku sudah baik-baik saja, rasa nyeri yang ada masih bisa ditahan dan tidak terlalu masalah, toh cuma terkena 2 sengatan masing-masing di betis kanan dan kiri. Tapi yang lainnya yang parah, mereka terkena sengatan hampir di sekujur tubuh, bahkan kepala. Dampak sengatannya pun tidak main-main, selama perjalanan Daffa, Habibie, dan Nabil menjadi tidak optimal dan prima. Lebih mudah lelah, badan panas, dan mual, perjalanan otomatis menjadi melambat, ditambah hujan sempat mengguyur di tengah perjalanan. Selambat-lambatnya berjalan, akhirnya jam 13.08 kami sampai di Cigeber. Karena sudah waktu makan siang walaupun terlewat, dan lahan yang cukup luas, aku memutuskan tim istirahat sejenak untuk mengisi perut, barangkali tenaga mereka kembali dan dapat mengalahkan efek nyeri yang dirasakan akibat sengatan lebah tadi.

Pos Cigeber

Setelah dirasa cukup istirahat, kemudian perjalanan dilanjut, karena memang menuju Citingar masih lumayan jauh. Ditambah trek yang masih sulit saja. Di tengah perjalanan juga sempat mengisi perbekalan air supaya stok air lebih aman, karena di tengah hutan, air menjadi lebih penting dari biasanya. Setelah perjalanan panjang, akhirnya kami sampai juga di pos Citingar sekitar pukul 16.30. Sebenarnya ini bukan tujuan kammi sebagai tempat mendirikan tenda, namun karena kondisi fisik semakin menurun dan untuk melanjutkan ke pos selanjutnya masih jauh, aku memutuskan pendakian hari ini berhenti disini. Walaupun sebenarnya Citingar bukan pos yang ideal untuk camp, karena lahan yang sempit dan terbatas.

Suasana Pos Citingar

Segera mendirikan tenda dan memasak untuk makan malam, tentunya sembari berbincang. Dari perbincangan dengan teman-teman sepertinya kondisi mereka belum juga membaik. Aku sudah berkali-kali mengatakan jika badan tidak mendukung jangan terlalu memaksakan, karena perjalanan untuk ke puncak masih cukup jauh, sekitar 4 jam lagi dari sini. Di malam itu juga Habibie mendeklarasikan sepertinya tidak akan muncak dengan pertimbangan badan yang semakin memburuk, sedangkan Daffa memutuskan melihat perkembangan nanti malam. Jika dirasa badang membaik, kita bisa berangkat. Ya walaupun malam itu Daffa juga masih pusing dan mual yang disebabkan sengatan lebah tadi siang. Setelah makanan habis kami semua tidur, dan aku bilang nanti malam tetap bangun jam 2 pagi untuk persiapan summit jika memungkinkan, jika tidak, toh tidur di Citingar juga sangat nyaman. Mendaki tidak selalu tentang puncak bukan?

Korban utama lebah

Sebenarnya tulisan ini belum selesai, tapi jika diceritakan secara detail, sudah lupa kejadiannya, hehe maklum, susah sekali menemukan mood untuk menulis belakangan ini. Singkatnya, sekitar jam 3 kami bangun, melihat perkembangan badan rekan-rekan sepertinya tidak memungkinkan untuk memaksakan ke puncak. Akhirnya kami lanjut tidur dan pagi hari sarapan, setelah sarapan sekitar jam 10 an kami mulai turun gunung. Sampai basecamp sekitar jam 2 siang, lalu kami berkemas kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan motor yang masih 5 jam lagi.

Menu makan pagi
Perjalanan mendaki itu memang seperti kehidupan, kadang naik, kadang turun, menemui semak belukar, harus merangkak di celah ranting, bertemu dengan berbagai macam makhluk hidup, sampai puncak, dan terkadang tidak sesuai harapan. Tapi penting untuk kuat dan terus bertahan, sampai kembali diminta pulang oleh-Nya.

Sebelum turun gunung

Senin, 22 April 2024

Titik Nol

Satu hal yang pasti dalam hidup ini adalah hidup pasti akan berputar layaknya roda. Bagian yang menyakitkan adalah, kita tidak pernah tahu pasti kapan titik nol mampir di hidup kita.

Kesempatan kali ini membawaku ke kota dimana aku memulai pendakian pertama ku, Garut. Tepat 9 tahun lalu aku datang di kota ini untuk memulai semuanya di Gunung Papandayan, Februari 2024 aku kembali untuk mendaki Gunung Cikuray, salah satu gunung yang juga cukup populer di Garut. Seperti hari-hari pendakian pada umumnya, aku hanya berangkat dengan rombongan kecil, 4 orang, Aku, Tiara, Habibie, dan rekan baru yaitu Daffa. Perjalanan dimulai pada tanggal 8 Februari jam 03.30 WIB di pool bus Primajasa Ciputat. Kami ambil bus paling pagi supaya dapat langsung mendaki di hari yang sama. Perjalanan ke Garut membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam menggunakan bus, dan kami sampai di Terminal Guntur Garut sekitar jam 9 pagi.

Sampai di Garut langsung belanja ke pasar dan bungkus nasi dahulu sebagai bekal pendakian di siang hari (rencananya).  Setelah urusan perbekalan selesai, kami mencarter angkot dengan tarif Rp 170.000 dari terminal sampai basecamp Kiara Janggot. Sampai basecamp jam 10, lalu sarapan nasi goreng dahulu di basecamp, urus simaksi, dan final check untuk perlengkapan yang akan dibawa ke atas. Pendakian via Kiara Janggot akan melewati 8 pos, dan sesuai rencana, kami akan camp di Pos 6 dengan estimasi jam 4 sore sampai.

Kita di basecamp.
Pendakian dimulai sekitar jam 11 siang, trek pertama menuju pos 1, dan sepanjang perjalanan masih dikelilingi pemukiman dan perkebunan warga. Pos 1 ditandai dengan sebuah plang, dan jika sudah sampai pos 1, berarti sudah ada di batas antara hutan dan pemukiman. Kami sampai di pos 1 sekitar jam 1 siang, memang, perjalanan menuju pos 1 adalah yang terpanjang, pos-pos setelahnya hanya butuh waktu 30-45 menit.  Ambil nafas dan minum sebentar di pos 1, kemudian melanjutkan perjalanan.

Lalat sepanjang perjalanan menuju pos 2
Perjalanan menuju pos 2 langit mulai berubah gelap, pertanda hujan akan datang. Saat itu hanya harap-harap cemas, jangan hujan dulu, pos 6 masih jauh, batinku. Setelah 35 menit berjalan, kami sampai di pos 2. Benar saja, yang sedari tadi dicemaskan datang juga. Hujan turun tepat setelah kami sampai di pos 2, sangat deras. Pos 2 juga menjadi tempat sumber air terakhir sehingga kami mengisi penuh perbekalan air disini. Lokasi sumber air tidak di pinggir jalur, perlu melipir sedikit 50 meter ke kanan jalur dan terdapat pipa yang menyalurkan air dari atas gunung. Jalur sumber air cukup jelas dan terlihat, hanya tinggal ikut jalan saja sumber air dapat ditemukan.

Setelah perbekalan air siap dan berganti ke setelan pendakian hujan, kami melanjutkan perjalanan menuju pos 3. Dari sini kontur pendakian berubah, yang sebelumnya dari basecamp sampai pos 2 cenderung landai, menuju pos 3 kontur berubah lebih terjal, ditambah cuaca hujan, lengkap sudah. Perjalanan ke pos 3 sempat terhambat sebentar karena di tengah jalan kakiku kram, entah mengapa belakangan ini setiap mendaki kram kaki selalu terjadi, padahal rasanya pemanasan sudah cukup maksimal. Ketika sampai di pos 3, kami tidak beristirahat, dan langsung tancap gas menuju pos 4, mengingat hari sudah semakin sore, dan rencana kami bermalam di pos 6, juga sudah cukup istirahat ketika insiden kram kaki terjadi.

Matahari semakin turun ketika kami sampai di pos 4, seingatku saat itu sudah jam 4 sore. Hanya istirahat sebentar di pos 4 untuk melonggarkan otot, selain karena cuaca masih hujan, di pos 4 juga tidak ada siapa-siapa, pertanda yang buruk jika harus sampai pos 6 terlalu lama dan bermalam tanpa ada rombongan lain. Semakin berjalan, kepercayaan diri semakin turun untuk bermalam di pos 6. Fisik semakin lelah karena sudah berangkat dari pagi buta, ditambah cuaca masih hujan, dan yang terparah, bekal makan siang yang kami bungkus di terminal Garut belum kami makan, yang artinya saat itu perut kami sudah mulai keroncongan. Akhirnya, keputusan bulat kami bermalam di pos 5 saja, entah ada rombongan lain atau tidak, kami berhenti. Risiko bermalam sendirian lebih kecil dibanding kami harus melanjutkan perjalanan ke pos 6 dengan kondisi fisik yang sudah tidak prima, dan hari yang semakin gelap.

Namun sepertinya alam mendukung kami, setelah berjalan 30 menit dari pos 4, kami mulai mendengar suara ramai dan aroma kopi yang sedang diseduh, yang kami harap saat itu kami sudah hampir sampai di pos 5. Dan benar saja, di pos 5 terdapat satu rombongan dengan 5 tenda, yang artinya kami tidak akan bermalam sendirian di pos 5. Sampai di pos 5 kami langsung membagi tugas, pasang tenda, memanaskan sayur,  jemur pakaian, dan tata tenda untuk tidur. Setelah makan, kami sepakat untuk istirahat saja dan tidak perlu makan malam kembali, dan makan lagi nanti sebelum summit attack, jam 2 dini hari.

Suasana di tenda

Esok harinya, kami bangun untuk persiapan summit. Karena rencana camp di pos 6 tidak terealisasi, maka kami harus bangun lebih awal supaya sampai di puncak saat sunrise. Setelah memasak nasi, mie instan, dan goreng bakso, kami melakukan packing untuk persiapan summit. Estimasi perjalanan adalah 3 jam, dan saat ini pukul 03.30. Perjalanan dimulai, trek masih sama saja seperti sebelumnya, akar, tanah, sesekali basah karena bekas hujan kemarin. Perjalanan malam lebih terasa ringan, tiba tiba saja kami sampai pos 6, buang hajat sebentar, lalu lanjut mendaki. Sebelum sampai pos 7, kami bertemu pertemuan antara jalur Pemancar dan Kiara Janggot. Setelah melewati persimpangan, berarti perjalanan sisa sedikit lagi, melewati pos 7, kemudian pos 8, dan 5 menit dari pos 8 kami sampai di Puncak Gunung Cikuray tepat pukul 07.00.

Sunrise di tengah summit attack

Seperti biasa, di puncak saatnya selebrasi dan dokumentasi. Setelah dirasa cukup, pukul 07.50 kami kembali turun ke camp di pos 5, sampai pos 5 jam 10, kemudian makan terlebih dahulu sembari packing, dan tepat sebelum dzuhur kami sudah siap turun. Perjalanan turun menggunakan sisa-sisa tenaga, sampai pos 1 aku masih menjaga supaya anggota pendakian tetap rapat dan tidak saling meninggalkan. Setelah sampai pos 1 pukul 13.00, baru aku mempersilahkan Habibie dan Daffa untuk mendahului, karena jalur yang juga sudah jelas dari sini.  Musabab kaki Tiara terluka, perjalanan aku dan Tiara menjadi lebih lambat menuju basecamp, sehingga baru sampai basecamp jam 14.30. Kemudian istirahat sebentar sembari berganti pakaian bersih, sekitar pukul 17.00 kami pamit dari basecamp menuju ke terminal, lalu perjalanan dilanjutkan menggunakan bus menuju Jakarta.

Kami di Puncak Cikuray
Layaknya kalimat awal tulisan ini, kita tidah pernah tahu kapan titik nol akan mampir di hidup kita. Satu hal yang pasti, waktu tersebut sudah pasti akan mampir, lalu apa yang akan kita lakukan selanjutnya adalah titik yang akan menentukan hidup kita selanjutnya. Tetap di titik nol selama-lamanya, atau kembali melangkah memulai dari 1 kembali.