Rabu, 27 November 2019

Yang Tergantikan

Manusia, makhluk fana yang hatinya sulit diterima dan tidak setia. Jika punya barang, di awal cinta, setahun kemudian ingin ganti keluaran terkini. Begitu juga rekan pendakian, yang terpaksa tergantikan walaupun bukan karena rasa bosan.

2 bulan terhitung sejak Agustus, ada rasa yang kurang jika tidak tahu Semarang dan sekitarnya. Oleh karena itu, keputusan bulat untuk kembali lagi ke gunung sekedar melepas rindu akan letihnya berjalan. Tapi, masalah kembali muncul domisili saya di Semarang tidak mungkin mengajak rekan setia pendakian yang sekarang masih sibuk mengurus pendidikan di Ibukota. Apalagi tiba - tiba meminta ayah untuk datang ke Semarang hanya untuk sekedar mendaki, ah lucu sekali.

Takdir menjawab, rekan pendakian datang tiga orang ditambah baru saja menyelesaikan UTS membuat perkuliahan sedikit santai.


Perkenalkan,
Imam Panji, Akuntansi 2019
Uli Kurniawan, Teknik Mesin 2018
Abid Muflih, Teknik Mesin 2018
Kevin Razak, Teknik Mesin 2018

Perbedaan yang sangat tajam bukan ?

Perjalanan di mulai dari Tembalang pukul 00.00 dengan 2 sepeda motor, menembus dinginnya malam dan jauhnya perjalanan, sekitar jam 01.45 kami sudah sampai di Desa Sawit, salah satu Desa yang dijadikan pos lapor pendakian Gunung Andong. Segera istirahat sejenak dan memulai pendakian jam 03.00. Namun sayang, di pos 2 kendala melanda, mas Abid pusing. Entah karena kurang tidur, kurang makan, atau kurang kasih sayang. Istirahat agak lama disini untuk meredakan pusing di kepala sambil menenggak beberapa obat yang kebetulan kami bawa.
Registrasi





Dengan kesepakatan bersama, perjalanan di lanjutkan, sebelum sampai pos 3, tersadar Merbabu dan Merapi sudah mengintip akibat sinar mentari yang perlahan terbit. Semangat kembali terpicu, mas Abid yang sempat pusing kini memimpin kami di depan. Sampai puncak pukul 04.30 dan terkejut akan terpaan angin, tersedianya warung, dan tidak ada lahan luas untuk berjalan (sangat penuh dengan tenda). Ya sudah, karena sudah sampai dan matahari masih bersembunyi, tunaikan ibadah sejenak dengan segala keterbatasan setelah itu menanti mentari terbit sambil menyantap kudapan yang kami bawa.
Terima kasih Andong.

Kelak kami kembali.

Menikmati puncak, indahnya Merbabu, Merapi, Sindoro, dan Sumbing di kejauhan. Jam 06.30 Tembalang kembali memanggil kami untuk kuliah, karena ada 21 SKS pekan depan, iya kembali beraktivitas. Sampai di bawah jam 07.30 kemudian langsung meredakan dahaga dengan es campur di jam yang masih sangat pagi, kemudian melanjutkan sarapan dan istirahat sejenak sebelum perjalanan pulang. Jam 12.00 kami terbangun kemudian menuju Tembalang dan perjalanan usai tapi kenangannya tidak.


Menanti Restu Bapak Ibu.

Kebanyakan hal harus tergantikan di dunia ini, entah terpaksa atau karena keinginan. Kendaraan, gawai, pasangan, rasa sedih, rasa senang, termasuk juga rekan pendakian. Walaupun jujur tidak ingin terganti, tapi pada akhirnya kami memiliki jalan masing - masing yang seharusnya itu saya sadari sedari awal.

Salam sayang,
Imam Panji

Dipersembahkan kepada rekan pendakian yang memutuskan pergi dan akan terganti.




Mungkin akan sangat aneh rasanya jika suatu saat nanti saya melupakan pernah mendaki bersama kalian.

Selasa, 26 November 2019

Kita Serumpun atau Saling Timbun ?

Demi harga diri bangsa, ujarnya.
Ada ungkapan yang sering terdengar bahwasanya sepak bola tanpa penggemar ibarat sayur yang terasa hambar. Bagaimana jika kita bertandang ke negeri seberang justru malah diserang ? Apa arti serumpun jika kemarin perwakilan teriakan “Garuda di Dadaku” malah ditimbun ?

Beberapa hari lalu, tepatnya Selasa, 19 November 2019 meski sudah terpuruk tanpa poin sedikit pun, Tim Nasional Sepak Bola Indonesia tetap bertandang ke Malaysia dalam Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia. Sampai di Malaysia bukannya disambut dengan baik, tetangga yang satu ini malah membuat suasana menjadi lebih pelik. Terjadi insiden pemukulan dan pengeroyokan terhadap beberapa penggemar Indonesia yang turut membawa nama Garuda di tanah Malaya.

Lewat keterangan pers yang disebar melalui akun Facebook-nya, Kepolisian Malaysia menyebutkan, insiden tersebut berlangsung di kawasan Bukit Bintang, Malaysia, 19 November pukul 02.00 dini hari. Korban atas nama Fuad dan Yovan kemudian melaporkan kejadian itu kepada polisi pada pukul 08.00 pagi.

Insiden ini muncul ke permukaan setelah ada video yang beredar di sosial media yang menampakkan paspor bernama "Fuad Naji". Yovan juga membenarkan bahwa di dalam video tersebut adalah Ia dengan kawannya, Fuad. Mereka dikeroyok oleh sekumpulan oknum saat hendak kembali ke hotel.

"Kepolisian Malaysia meminta pelapor dan rekannya yang menjadi korban dalam insiden itu segera bertemu dengan penyidik untuk melanjutkan penyelidikan. Kepolisian Malaysia juga memohon bantuan KBRI agar menginformasikan hal ini kepada pelapor," bunyi pernyataan resmi Kepolisian Malaysia.

Pemerintah Indonesia juga tidak diam saja, melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga, Indonesia melayangkan nota protes dan menuntut permintaan maaf Malaysia. Walaupun kasus ini sempat didiamkan dan dicap hoaks oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia, Syed Saddiq. Namun kemudian, Saddiq meminta maaf kepada masyarakat Indonesia. Saddiq mengaku telah meminta pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kejadian dalam video tersebut. Saddiq juga meminta agar korban atau saksi muncul untuk membantu pihak kepolisian menungkap kasus tersebut.

Tapi apakah sebuah permintaan maaf akan menyembuhkan luka kita begitu saja ? Saya yakin ini adalah persepsi masing - masing yang jawabannya boleh kalian simpan di dalam hati saja.

Jika sudah seperti ini, rakyat Indonesia menjadi terapit oleh dua situasi, di antara ingin marah tetapi tetangga, ingin pura - pura baik - baik saja tapi geram sudah merasuk di dada, ingin membuat suasana tidak kalut tapi batin sudah terlanjur tersulut. Hal yang ini juga tidak bisa dipaksakan adanya, setiap orang punya keinginan yang berbeda dalam menuntaskannya. Tetapi, saya ingin berpesan kepada negara tercinta. Ketahuilah, negara kita adalah negara yang cinta damai, sekalipun rakyat kita berjumlah 260 juta jiwa, kita punya pabrik senjata yang diakui di Bandung, dan juga pasukan elit terbaik di kerak bumi saya rasa ini sudah cukup jadi modal saat kita ingin cari 'masalah' dengan pihak manapun bukan ? Tapi satu hal yang tidak kita punya, adalah keinginan untuk melakukannya, betapa terhormatnya negeri kita. Jadi saat kalian ingin membalas kembali lah ke kalimat awal, kita adalah negara yang cinta damai, jagalah kehormatan kita, jika kelak mereka datang kesini sambut mereka dengan pertemanan bukan keroyokan.

Saya juga ingin berpesan kepada Malaysia atau negara manapun yang hendak mengganggu Indonesia. Jangan ajak kami berperang, jika ingin kami sudah melakukannya. Lagipula dahulu kami sudah berperang 350 tahun melawan Belanda dan kami menang, belum ditambah 3,5 tahun dengan Jepang, yang pada akhirnya kami memproklamirkan kemerdekaan kami sendiri tanpa bantuan mereka sedikitpun. Tapi, jika ingin bersahabat, ayo kita lakukan sampai dunia tamat.

Salam sayang,
Imam Panji