Desember 2017, adalah kesempatan kedua saya untuk
berkunjung ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Saat itu saya berkunjung
bersama ketiga rekan saya yaitu Ilham, Ridwan, dan Yoga sekaligus adik saya
yang ikut melakukan pendakian. Singkatnya, saat itu kami berhasil mencapai
puncak Gede dengan ketinggian 2958 Mdpl. Bagi saya sendiri, itu berarti
kunjungan saya kedua kali ke Puncak Gede setelah sebelumnya saya berkunjung
pada Juli 2017.
9 Bulan berlalu, saya kembali mengajak rekan
perjalanan saya sewaktu ke Gede untuk kembali mendaki. Ya jelas saja, kali ini
kami ingin berkunjung ke tetangganya, yaitu Pangrango. Hanya saja, adik saya
tidak bisa ikut dan akhirnya rombongan menjadi berkurang. Setelah melakukan
promosi sana – sini. Rombongan kembali bertambah, Ilham (Ponco) berhasil
mengajak kawannya yaitu Ade. Ridwan membawa kedua temannya Rafly (Potek) dan
Azriel (Ajil). Dan saya adalah yang paling berhasil melakukan promosi, karena
saya berhasil mengajak Blek, Farhan, juga seorang kawan lama yang tinggal di
perantauannya, Averyl.
Awalnya, kami merencanakan pendakian pada tanggal 27
– 28 Oktober, niat kami ingin mengucapkan sumpah pemuda di atas puncak
Pangrango. Tapi apa daya, karena kami telat mendaftar, akhirnya kami kehabisan
kuota pendakian dan memutuskan untuk memajukan tanggal pendakian seminnggu
lebih awal.
Setelah melakukan registrasi online, kami menunggu
sambil mempersiapkan pendakian yang akan dilakukan 20 Oktober itu. Sayangnya
beberapa hari setelah melakukan registrasi ternyata Yoga memberi kabar bahwa ia
tidak jadi ikut untuk pendakian kali ini. Tanggal 19 malamnya, saya meminta
kawan – kawan untuk berkumpul di kediaman nenek saya di kawasan Pondok Aren,
sekaligus untuk berangkat malam itu juga. Jam 20.00 semua sudah kumpul dan
mengecek barang – barang yang nantinya akan kami bawa. Setelah itu semua
selesai, kami masih punya waktu bebas sekitar 30 menit sebelum jam 21.00 kami
berangkat menggunakan KRL menuju stasiun Bogor.
Jam 21.00 datang, kami berangkat yang sebelumnya
berpamitan dengan keluarga saya yang kebetulan ada di rumah nenek. Kami berangkat
dari stasiun Pondok Ranji dan menggunakan angkot untuk menuju sana. Kami
membeli tiket, kemudian sekitar jam 21.30 an lah KRL membawa kami melesat
menuju Stasiun Bogor.
Semua tentang persiapan dan Stasiun |
Perjalanan di kereta memakan waktu kira – kira 2 jam
perjalanan. Kami sampai di Stasiun Bogor jam 23.45, sudah cukup malam tapi KRL
tak henti membawa kami sejauh ini. Sampai disana tidak sulit mendapatkan
kendaraan untuk menuju basecamp Cibodas karena ada beberapa supir angkot yang
menawarkan jasanya untuk mengantarkan kami. Yasudah daripada kami harus
menunggu sampai pagi, kami memutuskan untuk menggunakan angkot yang kami sewa.
Ketika jam menunjuk angka 02.30 kami sampai di basecamp Cibodas disambut dengan
udara yang begitu dingin.
Karena kami harus mengurus Surat Izin terlebih
dahulu, itu berarti kami tidak bisa langsung mendaki saat itu juga, karena
Balai Besar TNGGP baru membuka pelayanan SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawan
Konservasi) pada pukul 06.00 ketika hari libur. Itulah juga yang menjadi sebab
mendaki di Gede Pangrango sering dicap merepotkan oleh para pendaki, hal ini
dapat dimaklumi karena Gede Pangrango adalah kawasan Taman Nasional.
Setelah jam 06.00 kami langsung mengurus surat
keterangan sehat dan SIMAKSI supaya bisa melakukan pendakian. Oh iya, di Gede
Pangrango barang – barang yang mengandung deterjen, tisu basah, speaker, dan benda tajam yang berlebihan
dilarang dibawa masuk sehingga barang tersebut akan disita di pos pintu masuk.
Sekitar jam 07.45 kami baru memulai langkah pertama kami. Dan perlahan langkah
kami membawa kami memasuki hutan Gede Pangrango yang lebat nan sunyi.
Ketika Sampai |
Denis yang Melegenda |
Langkah kami tak pernah berhenti, sehingga langkah
kecil – kecil tersebut berhasil menapak di pos Kandang Badak pada jam 13.00. Ya
setelah itu kami mendirikan tenda, dan langsung istirahat, karena kebetulan
kami sudah sempat makan siang di pos air panas. Setelah tenda berdiri, tak
banyak bertanya yang kami lakukan adalah istirahat, termasuk saya yang memilih
tidur untuk memulihkan tenaga setelah 5 jam berjalan menanjak.
Jam 16.30 saya dibangunkan oleh rintik – rintik air
dari langit yang mulai turun. Hujan sore itu sangatlah awet, yang membuat saya
agak khawatir dini harinya nanti cuaca tidak cerah. Untungnya hujan hanya
menyapa sampai sehabis shalat maghrib. Setelah hujan reda barulah kami bergerak
untuk memasak setelah itu makan malam dan kembali melanjutkan tidur kami untuk
nanti dini hari melakukan Summit Attack ke
Puncak Pangrango.
Bunyi alarm yang menyebalkan pada setiap harinya
seketika malam itu berubah menjadi alarm yang begitu saya sambut. Saya
membangunkan semua teman – teman dan kembali memasak untuk mengisi perut
sebagai perbekalan melakukan pendakian menuju puncak. Jam 03.04 kami memulai
langkah kami kembali untuk masuk ke hutan Pangrango yang lebat.
Saya akui, hutan Pangrango begitu jahil. Beberapa
kali saya dipaksa untuk merangkak di bawah pohon tumbang, tergelincir karena
tekstur tanah yang licin, bahkan sampai berkali – kali kepala saya terbentur karena
saya kurang menunduk ketika melintasi pohon yang membentang di jalur pendakian.
Hari itu, terdapat 300 pendaki yang memasuki kawasan
TNGGP, tapi sangat sedikit yang saya jumpai di jalur menuju Pangrango. Hal itu
wajar, karena walaupun lebih rendah dari Pangrango, eksistensi Gede belum bisa
dikalahkan oleh tetangganya itu.
Akhirnya setelah hampir 3 jam mendaki, kami sampai
di Puncak Pangrango yang mungil, yang menawarkan Gunung Gede tepat di hadapan
kami. Saat itu jam menunjukkan pukul 05.56 dan matahari sudah keluar dari
persembunyiannya. Kami di puncak sampai jam 06.30 setelah itu kami turun menuju
Lembah yang melegenda di Pangrango, yaitu Mandalawangi yang jaraknya tak sampai
5 menit berjalan turun.
Beneran merangkak |
Aku kagum padamu, kupeluk dirimu |
Koki - koki restoran Kandang Badak |
Di tempat kesukaan Soe Hok Gie tersebut kami berdiam
sejenak dan kembali mengambil gambar untuk berbagai hal. Karena stok air dari
Kandang Badak sudah habis, kami juga mengambil air di Mandalawangi sebagai
perbekalan saat kami turun menuju Kandang Badak. Setelah puas dengan suasana di
sana, jam 07.15 kami memutuskan untuk kembali ke Kandang Badak. Perjalanan turun
sangatlah cepat, kami sampai Kandang Badak jam 09.00 kemudian langsung memasak
kembali, sekaligus merapihkan alat – alat berkemah kami sembari bergantian
menyantap makanan. Karena setelah makan mata saya terasa perih sekali menagih
untuk tidur. Yasudah saya bilang ke kawan – kawan untuk tidur sebentar selama
10 menit. Sekitar jam 12.22 kami selesai merapihkan segalanya di Kandang Badak
dan langsung turun menuju Basecamp Cibodas karena pendakian kali ini telah
selesai.
Mandalawangi yang ..... |
Bersama ajudan |
Jadi, kembali ke paragraf awal. “Apa sih tujuan saya
mendaki gunung ?”. Singkatnya, ada sebagian orang yang mendaki karena ikut –
ikutan, untuk foto – foto, untuk pergi dari rutinitas harian yang memusingkan,
dan brengseknya ada juga yang mendaki
hanya untuk mengotori alam. Tapi jujur, setelah sekian kali mendaki saya tak
tau pasti apa tujuan saya mendaki gunung. Tapi satu yang pasti ketika mendaki,
berjalan beriringan, tak meninggalkan kelompok dan tak tertinggal dari kelompok
adalah sesuatu yang mutlak. Mungkin itu yang menjadi tujuan saya, yang mungkin
juga belum saya yakini sepenuhnya.
Jadi bagi kalian yang juga suka mendaki, “apa sih
tujuan kalian mendaki gunung ?” bagi kalian yang belum pernah mendaki “Loh
kapan mau mulai naik gunung ?”. Kalian bisa ceritakan di kolom komentar karena
setiap orang pasti memiliki tujuan yang berbeda dalam melakukan sesuatu.
Oke mungkin sampai sini ceritanya, jika dirasa ada
yang kurang kalian boleh kritik di bawah, jika kalian rasa hal ini layak
dilihat banyak orang silahkan sebarkan.
Tetap Terpelajar.
-Imam Panji