Selasa, 23 Oktober 2018

Jalan Beriringan

Tak bisa dipungkiri, apapun yang kita lakukan di zaman sekarang, pasti akan dipertanyakan, dikomentari, bahkan dicibir oleh sekitar. Jadi, apasih jawaban dari pertanyaan “Apa tujuan saya mendaki gunung ?”

Desember 2017, adalah kesempatan kedua saya untuk berkunjung ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Saat itu saya berkunjung bersama ketiga rekan saya yaitu Ilham, Ridwan, dan Yoga sekaligus adik saya yang ikut melakukan pendakian. Singkatnya, saat itu kami berhasil mencapai puncak Gede dengan ketinggian 2958 Mdpl. Bagi saya sendiri, itu berarti kunjungan saya kedua kali ke Puncak Gede setelah sebelumnya saya berkunjung pada Juli 2017.

9 Bulan berlalu, saya kembali mengajak rekan perjalanan saya sewaktu ke Gede untuk kembali mendaki. Ya jelas saja, kali ini kami ingin berkunjung ke tetangganya, yaitu Pangrango. Hanya saja, adik saya tidak bisa ikut dan akhirnya rombongan menjadi berkurang. Setelah melakukan promosi sana – sini. Rombongan kembali bertambah, Ilham (Ponco) berhasil mengajak kawannya yaitu Ade. Ridwan membawa kedua temannya Rafly (Potek) dan Azriel (Ajil). Dan saya adalah yang paling berhasil melakukan promosi, karena saya berhasil mengajak Blek, Farhan, juga seorang kawan lama yang tinggal di perantauannya, Averyl.

Awalnya, kami merencanakan pendakian pada tanggal 27 – 28 Oktober, niat kami ingin mengucapkan sumpah pemuda di atas puncak Pangrango. Tapi apa daya, karena kami telat mendaftar, akhirnya kami kehabisan kuota pendakian dan memutuskan untuk memajukan tanggal pendakian seminnggu lebih awal.

Setelah melakukan registrasi online, kami menunggu sambil mempersiapkan pendakian yang akan dilakukan 20 Oktober itu. Sayangnya beberapa hari setelah melakukan registrasi ternyata Yoga memberi kabar bahwa ia tidak jadi ikut untuk pendakian kali ini. Tanggal 19 malamnya, saya meminta kawan – kawan untuk berkumpul di kediaman nenek saya di kawasan Pondok Aren, sekaligus untuk berangkat malam itu juga. Jam 20.00 semua sudah kumpul dan mengecek barang – barang yang nantinya akan kami bawa. Setelah itu semua selesai, kami masih punya waktu bebas sekitar 30 menit sebelum jam 21.00 kami berangkat menggunakan KRL menuju stasiun Bogor.

Jam 21.00 datang, kami berangkat yang sebelumnya berpamitan dengan keluarga saya yang kebetulan ada di rumah nenek. Kami berangkat dari stasiun Pondok Ranji dan menggunakan angkot untuk menuju sana. Kami membeli tiket, kemudian sekitar jam 21.30 an lah KRL membawa kami melesat menuju Stasiun Bogor.




Semua tentang persiapan dan Stasiun

Perjalanan di kereta memakan waktu kira – kira 2 jam perjalanan. Kami sampai di Stasiun Bogor jam 23.45, sudah cukup malam tapi KRL tak henti membawa kami sejauh ini. Sampai disana tidak sulit mendapatkan kendaraan untuk menuju basecamp Cibodas karena ada beberapa supir angkot yang menawarkan jasanya untuk mengantarkan kami. Yasudah daripada kami harus menunggu sampai pagi, kami memutuskan untuk menggunakan angkot yang kami sewa. Ketika jam menunjuk angka 02.30 kami sampai di basecamp Cibodas disambut dengan udara yang begitu dingin.

Karena kami harus mengurus Surat Izin terlebih dahulu, itu berarti kami tidak bisa langsung mendaki saat itu juga, karena Balai Besar TNGGP baru membuka pelayanan SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawan Konservasi) pada pukul 06.00 ketika hari libur. Itulah juga yang menjadi sebab mendaki di Gede Pangrango sering dicap merepotkan oleh para pendaki, hal ini dapat dimaklumi karena Gede Pangrango adalah kawasan Taman Nasional.

Setelah jam 06.00 kami langsung mengurus surat keterangan sehat dan SIMAKSI supaya bisa melakukan pendakian. Oh iya, di Gede Pangrango barang – barang yang mengandung deterjen, tisu basah, speaker, dan benda tajam yang berlebihan dilarang dibawa masuk sehingga barang tersebut akan disita di pos pintu masuk. Sekitar jam 07.45 kami baru memulai langkah pertama kami. Dan perlahan langkah kami membawa kami memasuki hutan Gede Pangrango yang lebat nan sunyi.
Ketika Sampai


Denis yang Melegenda



Langkah kami tak pernah berhenti, sehingga langkah kecil – kecil tersebut berhasil menapak di pos Kandang Badak pada jam 13.00. Ya setelah itu kami mendirikan tenda, dan langsung istirahat, karena kebetulan kami sudah sempat makan siang di pos air panas. Setelah tenda berdiri, tak banyak bertanya yang kami lakukan adalah istirahat, termasuk saya yang memilih tidur untuk memulihkan tenaga setelah 5 jam berjalan menanjak.

Jam 16.30 saya dibangunkan oleh rintik – rintik air dari langit yang mulai turun. Hujan sore itu sangatlah awet, yang membuat saya agak khawatir dini harinya nanti cuaca tidak cerah. Untungnya hujan hanya menyapa sampai sehabis shalat maghrib. Setelah hujan reda barulah kami bergerak untuk memasak setelah itu makan malam dan kembali melanjutkan tidur kami untuk nanti dini hari melakukan Summit Attack ke Puncak Pangrango.

Bunyi alarm yang menyebalkan pada setiap harinya seketika malam itu berubah menjadi alarm yang begitu saya sambut. Saya membangunkan semua teman – teman dan kembali memasak untuk mengisi perut sebagai perbekalan melakukan pendakian menuju puncak. Jam 03.04 kami memulai langkah kami kembali untuk masuk ke hutan Pangrango yang lebat.

Saya akui, hutan Pangrango begitu jahil. Beberapa kali saya dipaksa untuk merangkak di bawah pohon tumbang, tergelincir karena tekstur tanah yang licin, bahkan sampai berkali – kali kepala saya terbentur karena saya kurang menunduk ketika melintasi pohon yang membentang di jalur pendakian.

Hari itu, terdapat 300 pendaki yang memasuki kawasan TNGGP, tapi sangat sedikit yang saya jumpai di jalur menuju Pangrango. Hal itu wajar, karena walaupun lebih rendah dari Pangrango, eksistensi Gede belum bisa dikalahkan oleh tetangganya itu.

Akhirnya setelah hampir 3 jam mendaki, kami sampai di Puncak Pangrango yang mungil, yang menawarkan Gunung Gede tepat di hadapan kami. Saat itu jam menunjukkan pukul 05.56 dan matahari sudah keluar dari persembunyiannya. Kami di puncak sampai jam 06.30 setelah itu kami turun menuju Lembah yang melegenda di Pangrango, yaitu Mandalawangi yang jaraknya tak sampai 5 menit berjalan turun.
Beneran merangkak


Aku kagum padamu, kupeluk dirimu


Koki - koki restoran Kandang Badak
Di tempat kesukaan Soe Hok Gie tersebut kami berdiam sejenak dan kembali mengambil gambar untuk berbagai hal. Karena stok air dari Kandang Badak sudah habis, kami juga mengambil air di Mandalawangi sebagai perbekalan saat kami turun menuju Kandang Badak. Setelah puas dengan suasana di sana, jam 07.15 kami memutuskan untuk kembali ke Kandang Badak. Perjalanan turun sangatlah cepat, kami sampai Kandang Badak jam 09.00 kemudian langsung memasak kembali, sekaligus merapihkan alat – alat berkemah kami sembari bergantian menyantap makanan. Karena setelah makan mata saya terasa perih sekali menagih untuk tidur. Yasudah saya bilang ke kawan – kawan untuk tidur sebentar selama 10 menit. Sekitar jam 12.22 kami selesai merapihkan segalanya di Kandang Badak dan langsung turun menuju Basecamp Cibodas karena pendakian kali ini telah selesai.
Mandalawangi yang .....




Bersama ajudan
Jadi, kembali ke paragraf awal. “Apa sih tujuan saya mendaki gunung ?”. Singkatnya, ada sebagian orang yang mendaki karena ikut – ikutan, untuk foto – foto, untuk pergi dari rutinitas harian yang memusingkan, dan brengseknya ada juga yang mendaki hanya untuk mengotori alam. Tapi jujur, setelah sekian kali mendaki saya tak tau pasti apa tujuan saya mendaki gunung. Tapi satu yang pasti ketika mendaki, berjalan beriringan, tak meninggalkan kelompok dan tak tertinggal dari kelompok adalah sesuatu yang mutlak. Mungkin itu yang menjadi tujuan saya, yang mungkin juga belum saya yakini sepenuhnya.

Jadi bagi kalian yang juga suka mendaki, “apa sih tujuan kalian mendaki gunung ?” bagi kalian yang belum pernah mendaki “Loh kapan mau mulai naik gunung ?”. Kalian bisa ceritakan di kolom komentar karena setiap orang pasti memiliki tujuan yang berbeda dalam melakukan sesuatu.

Oke mungkin sampai sini ceritanya, jika dirasa ada yang kurang kalian boleh kritik di bawah, jika kalian rasa hal ini layak dilihat banyak orang silahkan sebarkan.

Tetap Terpelajar.



-Imam Panji

Kamis, 04 Oktober 2018

Negeriku, Kenapa (Kamu) ?

Oke, selang satu hari dari tulisan saya tentang Kota Surakarta telah selesai. Ternyata ada satu pemikiran lagi yang membuat saya ingin menulis dan mengajak kalian untuk berdiskusi.

Bagi kalian yang ingin tetap membaca dan ingin intropeksi diri, silahkan kalian baca tulisan ini sampai selesai. Atau mungkin jika kalian takut mengeluarkan air mata kalian boleh pergi dan tekan tombol kembali kemudian kembali membuka akun sosial media kalian. Karena jujur saja, suasana tulisan ini akan jauh berbeda dari 2 part cerita tentang Surakarta yang sudah saya suguhkan. Sudah siap ? Kita mulai.

Sederhananya, tulisan ini tercipta karena satu pertanyaan yang sederhana di benak saya, tapi saya yakin jawabannya begitu rumit. Pertanyaannya sama dengan judul tulisan ini “Negeriku, Kenapa ?”. Ya begitulah tulisan ini tercipta.

Jika kita tarik waktu bersama beberapa bulan ke belakang, negeri ini sedang berantakan dan sedang kacau. Yang kita tahu, beberapa waktu terakhir negeri ini penuh sekali dengan bencana. Dimulai dari Lebak Banten, diikuti Lombok, kemudian hutan di gunung – gunung pulau Jawa yang terbakar, jika direkap ada Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Andong, Gunung Wilis, dan yang terparah adalah Gunung Lawu. Mungkin itu yang saya ketahui, jika ada gunung yang terlewat berarti itu salah saya yang minim informasi. Tak sampai disitu, beberapa hari lalu, Gunung Kerinci erupsi, Palu dan Donggala dilanda gempa dan tsunami, dan kemarin pagi, Gunung Soputan di Minahasa, Sulawesi Utara juga ikut meletus. Di hari yang sama, Gunung Anak Krakatau yang ada di Selat Sunda, Selat yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatra juga ikut “batuk” yang menyebabkan aliran lavanya sudah sampai ke pantai dan statusnya dinaikkan menjadi waspada level 2. Dan yang sangat terbaru, tadi siang Waktu Indonesia Timur, Gunung Gamalama di Ternate erupsi dengan asap setinggi 250 meter. Tak ada habisnya.

Itu mungkin bencana yang berkaitan dengan alam, tetapi di bidang lain ? Maaf, belum selesai. Di bidang ekonomi, kita tahu mata uang kita tercinta “Rupiah” sempat anjlok menyentuh Rp15.000 / Dollar AS, dan itu adalah rekor kekuatan rupiah terburuk sepanjang sejarah. Selain ekonomi ? Ya ADA ! Kejadian tewasnya suporter sepakbola yang dikeroyok tanpa peri kemanusiaan juga tak boleh kita lupa.

Semua kejadian ini terjadi begitu berurut, dan tak kunjung surut. Seperti sinetron yang memiliki banyak episode di televisi, begitu juga kondisi negara kita terkini. Setelah satu bencana muncul, esok harinya muncul bencana baru. Terus seperti itu. Rentetan bencana ini, terjadi bukan tanpa alasan, PASTI ADA YANG SALAH. Tetapi sulitnya, saya juga tak tahu apa yang sedang salah di negeri ini, yang pasti MANUSIANYA. Mungkin ini pertanda, bahwa kita memang harus bertobat, sebelum nantinya matahari sudah terbit di barat, kita harus pergi dari maksiat, karena itu satu – satunya jalan yang bisa membuat Indonesia selamat.

Jika kalian kenal Ebiet G Ade, salah satu musisi di Indonesia. Di salah satu lirik lagunya terdapat kalimat “Mengapa di tanahku terjadi bencana ? Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa – dosa. Atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita.” Apakah karena dua hal itu ? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Mungkin alasannya lebih rumit dari dua hal itu.

Mungkin negeri ini tidak dapat berbicara dan memberi tahu seperti apa kondisinya sekarang. Dia tak bisa juga menangis, tertawa, atau apapun yang mencerminkan perasaannya. Tapi, dengan segala bencana ini, apakah kita peka ? Apakah kita belum bisa menyimpulkan bagaimana keadaannya ?

Seperti yang kita ketahui pula sedari jenjang Sekolah Dasar, Indonesia memang terletak di antara lempeng tektonik yang aktif dan memang berada di kawasan Ring of Fire (Cincin Api). Yang mengakibatkan, Indonesia rawan terkena bencana. Tapi, dengan sekelumit bencana ini, apakah letak Indonesia yang menjadi masalah ? Mungkin tidak. Ini pertanda, bahwa ada yang harus dibenahi sebelum semakin salah. Dan jangan mempermasalahkan posisi Indonesia, karena, menurut saya ini adalah sebuah teguran kecil tetapi sedihnya banyak yang belum menyadarinya.

Kemudian, mirisnya, negeri ini memang tak punya mulut seperti layak manusia yang tinggal di dalamnya. Tapi tak memiliki mulut bukan berarti negeri ini tak bisa berteriak dan berdemonstrasi. Ini adalah bentuk demonstrasi Indonesia yang mungkin menuntut untuk diperhatikan dan lebih dikasihi.

Mungkin sekian penjabaran mengenai apa - apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini, maaf sekali kalau tulisan ini terlalu berbobot. Tapi tujuan saya satu, supaya kita saling introspeksi diri.

Jadi, pertanyaannya untuk kalian ada di kolom judul tulisan ini “Negeriku, Kenapa ?”. Bagi kalian yang punya pendapat tentang mengapa Indonesia kini, silahkan kalian cantumkan pendapat kalian di kolom komentar karena saya yakin setiap dari kalian punya hal yang ingin diungkapan masing – masing tentang Indonesia kini. Jika kalian rasa tulisan ini perlu dibaca oleh banyak orang lagi, tak ada salahnya kalian sebarkan.

Oke sekian dulu, salam terpelajar, sampai jumpa lagi.


-Imam Panji

Rabu, 03 Oktober 2018

Surakarta yang Mengagumkan #2

Ok, sebelum kalian baca ini sebaiknya kalian baca part 1 nya disini.

Kehidupan manusia adalah sebuah kotak labirin yang tak kunjung berhenti. Dan pulang ke kampung halaman adalah salah satu penawarnya.

Setelah memutuskan untuk menginap semalam di Bayat dengan cuaca yang mirip sekali dengan ketinggian. Paginya, tepat tanggal 9 September kami hendak berkeliling desa Kalisaga begitulah disebutnya. Sekedar menghirup udara bersih yang kebetulan jarang sekali kami temui di ibukota, sampai kira – kira jam 6 kami berkeliling, kami kembali ke rumah.

Sampai di rumah dengan berjalan kaki sebentar, ternyata kami sudah disiapkan sarapan, wah indahnya buat saya. Tak berlama – lama langsung saja gundukan nasi beserta lauk pauknya kami makan dengan lahap. Setelah makan ya kami tidak mandi di sana, saya berpikir jika mandi disana sama saja menyiksa diri, karena udara yang dingin pasti akan memengaruhi suhu air disana yang pasti juga sama dinginnya (atau mungkin bisa lebih dingin). Sekitar jam 07.30 kami kembali berangkat menuju Hotel di Solo untuk membersihkan diri sekaligus beristirahat dan berjumpa dengan keluarga Pakde Anto yang kebetulan menginap di hotel yang sama dengan kami.

Sekitar satu jam an perjalanan, kami tiba di Solo dengan sedikit kebingungan karena ketika akan sampai, ternyata disana juga terdapat Car Free Day yang dilaksanakan di Jln. Slamet Riyadi. Berarti, Slamet Riyadi adalah Sudirmannya kota Surakarta, begitulah pikir saya. Sampai di Solo, yang ingin mandi ya mandi, yang tidak ingin yasudah bermalas – malasan, ya termasuk saya yang lebih memilih tidur (lagi) daripada mandi untuk membersihkan diri.

Sekitar jam 10 saya terbangun sendiri dan mendapati Ayah dan Bunda tidak ada di hotel, waduh kemana perginya mereka. Setelah memanfaatkan fitur chat di telepon genggam saya, ternyata mereka sedang berdua di Pasar Gede, yang letaknya hanya 200 atau mungkin 300 meter dari hotel tempat kami menginap. Tak pikir lama dan tak pakai mandi saya bersama Om dan Tante memutuskan untuk menyusul saja, karena Pasar Gede adalah salah satu ikon disana, jadi hal ini juga wajib saya dokumentasi. Di Pasar Gede, kami membeli makanan yang nantinya akan kami bawa kembali ke Ibukota, harganya pun murah – murah sekali dan rasanya enak – enak. Ya walaupun untuk teman – teman yang muslim, harus berhati – hati jika bermain di Surakarta khususnya Pasar Gede, karena disana masih banyak terdapat olahan daging dari Anjing ataupun Babi yang terdapat di pinggir jalan, tetapi walaupun begitu warung – warung yang menyediakan anjing ataupun babi juga sudah terlihat jelas petunjuknya, jadi teman – teman tidak perlu khawatir akan salah makan jika teman – teman memang teliti.

Pasar Gede tampak dari depan.
Setelah keluar dari Pasar Gede, kami berpindah haluan ke warung minuman begitulah di depan hotel, sekedar untuk menyeruput kopi ataupun menyantap gorengan yang terdapat di warung. Sampai sebelum dzuhur disana berbincang bersama, kemudian kami masuk hotel untuk mandi bagi yang belum mandi dan saya termasuk di dalamnya.

Setelah menyelesaikan mandi dan melaksanakan shalat Dzuhur, kebetulan Pakde Anto mengajak untuk pergi ke Warung makan, tepatnya Warung Makan Selat yang dimiliki Mbak Lies, yang cukup terkenal di Surakarta. Yang perlu kalian ketahui Selat adalah makanan daerah khas Surakarta yang berisi sayuran dan buah – buahan yang mirip dengan Salad. Tetapi, di beberapa olahan Selat ada yang menggunakan daging sapi ataupun telur rebus. Ya kalian harus lihat dan rasakan lah supaya kalian tahu bagaimana bentuk dan rasa Selat khas Solo tersebut.
Salah satu spot unik di warung Selat Mbak Lies.
Karena hari ini adalah hari Minggu, berarti hari ini adalah hari pelaksanaan pernikahan Pakde Agus. Dimana akad nikahnya sudah dilaksanakan siang harinya di Gereja dekat kediaman Mbah Tino, dan acara pesta akan dilaksanakan malam harinya, setelah shalat isya. Karena kekosongan waktu di sore hari, saya dan ayah memutuskan untuk pergi ke Stasiun Puwosari untuk mencetak tiket pulang terlebih dahulu, daripada saat hari kepulangan kami keteteran karena belum mencetak tiket. Sehabis dari Stasiun Purwosari kami berpindah ke Stasiun Solo Balapan untuk mencetak tiket kembali tetapi milik Atung dan Uti yang akan pulang hari senin, lebih cepat satu hari dari kami yang akan pulang hari selasa.

Setelah Maghrib, kami kembali mandi dan berpakaian rapih untuk hendak pergi ke kediaman Mbah Tino untuk menghadiri acara pestanya. Dan pengalaman untuk saya, ternyata resepsi pernikahan di Surakarta sangatlah berbeda dengan di Jakarta. Disana tidak ada makanan prasmanan, yang ada hanya makanan yang akan diantar ke satu – persatu tamu undangan mulai dari Teh manis, beralih ke sepotong kue, satu mangkuk sayur, dan baru makan nasi beserta lauknya. Semua itu diantarkan satu – persatu dengan urutan yang sudah saya sebutkan. Jadi, jika saja saat minum Teh manis kita sudah merasa lapar, kita tidak akan bisa makan berat lebih dulu dari semua tamu undangan yang lain. Karena, semuanya dimakan dan diminum secara bersama. Dan satu perbedaannya lagi, acara pesta disana akan dilaksanakan satu waktu. Jadi jika dalam suatu pesta pernikahan mengundang 500 orang, 500 orang itu akan datang bersamaan, tidak seperti di Jakarta ada yang datang di siang hari, ada yang datang malam hari, intinya datangnya berbeda – beda. Jika di Surakarta datangnya ya satu waktu.

Sekitar jam 22 malam acara pesta selesai, kami kembali ke hotel dan beristirahat sebelum nanti malam saya akan mengajak ayah untuk ke Gunung Lawu mengecek keadaan disana. Dan yang harus kalian ketahui adalah, hutan Gunung Lawu terbakar 4 hari sebelum saya berangkat dari Jakarta, yang menyebabkan pendakian Gunung Lawu ditutup dan mengancam ritual malam 1 Suro disana nantinya bisa saja batal. Saya berangkat sekitar jam 23 malam mungkin dengan harapan pendakian disana akan dibuka. Saya kesana ya pasti sudah lengkap dengan alat pendakian saya. Tetapi, sesampainya disana ya benar saja, yang saya dapati api yang berkobar di hutan Gunung Lawu, dan bisa ditebak jalur pendakian ditutup. Itu artinya, saya harus mengurungkan niat untuk mendaki Gunung Lawu dan menunggu sampai waktu yang tidak dapat ditentukan untuk kembali kesana.
Penampakan api di hutan Lawu dari kejauhan.

Hanya posko Cemoro Kandang lah yang bisa saya abadikan saat itu.















Setelah saya mengetahui keadaan Gunung Lawu yang sedang “kurang sehat”, akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke hotel, ya yang pasti untuk berisitirahat karena saya gagal melakukan pendakian saya. Yasudah, saya pikir mendaki gunung bisa lain kali, yang penting adalah keselamatan saya.

Sebagai pengganti pendakian gunung, paginya ayah mengajak untuk pergi ke air terjun, tepatnya Air Terjun Jumog dan ke Candi Sukuh untuk berekreasi. Sekitar jam 11 lah kami sudah sampai di kawasan air terjun, tapi untuk mencapai air terjun secara langsungnya kami harus menuruni 116 anak tangga terlebih dahulu sebelum bisa mandi di bawah kucuran air terjun yang segar. Sudahlah, disana saya menikmati air dari sumbernya langsung yang sangat segar. Saya mandi disana sampai 12.30 kemudian saya bilas badan, dan kembali makan untuk mengisi tenaga. Dan uniknya, dan ini juga pengalaman pertama saya, disana kami memesan satu porsi sate kelinci, yang ternyata rasanya tak kalah enak dengan sate ayam.

Tepat di bawah Air Terjun
Sebelum menuruni tangga.





Selesai makan sekitar jam 14.00 kami bergegas untuk mengunjungi Candi Sukuh yang memiliki patung – patung yang cukup unik, ada sebuah patung  yang menggambarkan bentuk rahim perempuan, ada patung alat kelamin yang ditindik, dan banyak patung lainnya. Ya disana, jelas kami hanya berfoto – foto ria karena tidak mungkin kami berenang dan mandi di patung – patung disana. Ohiya dan uniknya, di Candi Sukuh, jika ingin memasuki kawasan candi, kami harus menggunakan kain yang diikat di pinggang. Saya juga lupa menanyakan apa fungsinya kain tersebut, tapi karena alasan menghormati, saya tetap menggunakan kain itu. Disana kami tidak berlama karena kebetulan Candi Sukuh tidaklah sebesar Borobudur maupun Prambanan. Setelah itu kami kembali bergegas untuk menuju hotel, diselingi dengan sedikit berhenti di tengah kebun karet untuk berfoto menggunakan hammock yang sudah kami bawa – bawa sedari Jakarta.
Santai yang sangat sederhana.

Spot paling unik menurut saya yang ada di Candi Sukuh.





Saya lupa sampai hotel jam berapa waktu itu, yang jelas dari sampai disana sampai besok paginya kami tidak banyak melakukan banyak hal, hanya sekedar merapihkan barang – barang bawaan supaya esok harinya ketika pulang, semua barang sudah siap.

Esoknya hari yang  mengharuskan kami pulang akhirnya datang juga, kereta kami akan berangkat dari Stasiun Purwosari pukul 14.30 jadi selepas shalat dzuhur kami sudah berangkat menuju Stasiun Purwosari supaya tidak tertinggal kereta. Setelah itu ya kami naik kereta dan pulang dan selesailah tentang Surakarta.

Dilan dan Milea di tengah dinginnya Jakarta malam itu.
Ya begitulah semua kesan pesan Surakarta kali ini, jadi jika kalian yang sudah sangat rumit dengan sebuah labirin yang tak kunjung henti itu. Cepatlah atur jadwal entah 2 atau 3 hari untuk menyisihkan waktu kalian di kampung halaman. Karena, percayalah semua rindu itu harus dituntaskan.

Dan satu pertanyaan terakhir, "Kapan terakhir kalian pergi ke kampung halaman ?" Silahkan jabarkan di kolom komentar, karena pasti ada yang baru saja pulang atau mungkin sudah tak pernah pulang lagi.

Oke sekian dulu catatan perjalanan tentang kota yang indah, Surakarta. Kalo kalian rasa tulisan ini bagus silahkan sukai dan tinggalkan komentar di bawah. Jika ada kesalahan dan kekurangan menurut kalian, silahkan kritik dengan baik. Dan jangan lupa membaca sekaligus menulis.

Yang Santai dan Terpelajar.

Imam Panji.